Puisi: Cerita Dandelion

123 4 0
                                    

Aku kembali ... bukan 'tuk menetap, hanya sekadar menengok. Menapak jejak tak berbekas, pada jalanan yang telah mati, berhias jatuhan dedaunan kering. Adalah di sana, sukmaku meraung pilu, pada luka yang masih menganga, memohon penyembuhan.



Aku ini, Dandelion yang hanya mekar sesaat. Nanti-nantinya juga akan mengering, lalu siap dihancurkan kembali sang angin. Aku ini, Dandelion yang tak lagi punya harapan, terhimpit kawanan ilalang yang memaksa melihat senja.



Seperti angin berputar ombak bersabung, ribuan jarum itu merusuk dalam tubuhku; takkan pernah bisa kaupahami. Sebab seluk-beluk Dandelion, atau kawanannya, atau tetuanya, adalah sukar menjangkau nalarku, apalagi kau. Dan juga, kita ini hanya serpihan nostalgia yang kadang nyata dalam mimpi, atau luruh dalam tangis. Bukan maksudku pula menjelma Fatalis, namun sia-sia saja menjaring angin, terasa ada, tertangkap tidak.



Sudahlah, apa pedulimu?


Dandelion ini telah ditinggal pergi angin yang berembus, tetuanya, bahkan kawanannya. Tingal lah benih-benih harapan, yang memupuk pada kelamnya malam, pada doa-doa yang dulu tak sempat diaminkan, kala batin dihantam sadis kenestapaan.



Dan sekarang, bila memang Dandelion itu harus merebah pada tanah yang keras lagi, biarlah benih-benihnya menjelma setangkai Dandelion yang utuh, di mana mahkotanya menguning, menjelma senja yang takkan pernah bisa kaulupa.



Kota Hujan, 4 Juli 2019


Antologi Cerpen Dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang