Puisi: Ngaben

136 8 0
                                    

Surya kala itu bersinar sangat terang, namun takkan pernah mampu membakar punggung kita.
Nampak sepasang kakimu tengah berlari, kausentuh lembut kawanan ilalang, yang sejatinya sering kita lewati bersama.
Oh, wajah itu begitu ceria, teramat senang,
Hingga rasanya nestapa tak mampu singgah di sana ... bahkan sekadar 'tuk mengecup pipimu.

Rerumputan itu bermusik, bernyanyi, serta berdendang untukmu.
Bilamanakah ini akan terulang kembali?
Adakah senyum terukir di wajahmu, bahkan bila badai telah menghempas kebahagiaanmu?

Sayang, tetua adat itu telah menulis untukmu, hanya untukmu.
Selembar kertas putih itu kutekan sebanyak tiga kali, sambil memantapkan hati yang rapuh ini; akhirnya kaupun harus pamit, bukan?
Akhirnya pergimu harus kuikhlaskan jua.

Jalanan itu...
Panjang dan berliku, bersama kawanan ilalang yang menjaga pada dua sisi : kiri dan kanan.
Jalanan itu panjang dan berliku, bersama iringan angklung yang memilukan.
Jalanan itu (masih) akan panjang dan berliku, bersama bayangmu yang kini bersisa asa.

Kedua tanganku memegang erat pigura wajahmu.
Terlalu banyak mereka yang berjalan bersamaku, andai saja kau tahu.
Demi mengiring kepergian sang Puan,
Yang telah lebih dulu melihat Nirwana.

Segala yang kulihat adalah putih cerah, hampir-hampir membutakan mata.
Namun mentari tak lagi bersinar.
Ia redup, terhalang mendungnya awan kemawan.
Di sana, sang pendeta memercikmu dengan Tirta Pangentas diiring pula dengan Puja Mantra.

Di sana pula, Sayang,
Kulihat lidah-lidah api menjulang tinggi, berkobar bersama pilu yang tak mampu lagi terbendung.
Segera tubuhmu berangsur menjadi debu, bersama dengan nestapa yang menghunus jantungku.

Namun tangis, Sayang, adalah hal yang tabu kulakukan.
Tidak, takkan kuhambat perjalanan pulangmu.

Namun kali ini, Kasih, biarlah kuhentar pergimu.
Biarlah ini menjadi perjalanan terakhirku untukmu.
Bersama perahu yang semakin melaut, biarku kembalikan apa yang tak lagi menjadi milikku.

Biarlah hari-hari ini berlalu dengan tabah, hingga hari keduabelas,
Di mana nelangsa ini tak lagi temani malam sepiku.
Dan bila nanti Sayang, kutemukan reinkarnasi dirimu,
Yakinkan aku bahwa cintaku masih bersemayam di sana.

Kota Hujan, 18 Mei 2019

Antologi Cerpen Dan Puisiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن