Catatan: Ala Anak Reggae

77 3 0
                                    

Rasanya aku ingin tertawa, tertawa, dan terus tertawa. Kuanggap diriku ini adalah seorang anak kecil dan semua orang adalah badut. Saban hari yang kulakukan hanya tertawa, belajar menghargai usaha para badut yang melucu atau memang lelucon yang disampaikan lewat lirikan dan tuturan mereka adalah hal yang terlalu jenaka. Namun sepertinya para badut itu teramat kesal padaku. Tahulah sendiri, riasan mereka adalah emas yang mereka miliki. Dan tatapan mereka adalah teropong yang menjangkau garis kehidupan kita yang paling jauh. Penopang tubuh utama mereka saja adalah pangkat dan keangkuhan. Bagaimana mungkin ada yang mau menyaingi mereka?

Kurasa aku harus kembali tertawa. Menyadari betapa lucunya mereka ketika menyebut diri sendiri sebagai pujangga gereja, namun laku yang tidak jauh lebih buruk dari seorang mafia. Entah apa yang mereka cari di dunia ini, rasanya selalu saja ada yang tidak berkenan di kaca mata mereka. Mereka hidup dengan telinga yang menempel pada setiap rumah tetangga, lalu besoknya dapat kaulihat amunisi yang mereka siapkan untuk menghiburmu.

Namun sepertinya para badut itu teramat kesal padaku. Seorang calon sarjana yang wira-wiri depan rumah mereka saat menunggu redanya hujan, lalu berjalan begitu saja tanpa menyuarakan kebaikan mereka atas pinggiran emper yang telah kupinjam untuk berteduh. Sosok yang tidak tahu berterima kasih sama sekali. Dan mungkin dari sanalah mereka mencoba menghiburku : lewat sindiran, cemoohan, lirikan yang sinis, atau senyum yang ditahan, hingga kontak fisik yang menyakitkan. Lalu dari situlah aku mulai belajar untuk tertawa, tertawa, dan terus tertawa.

Tidak ada yang lebih baik selain jika kau bisa tertawa atas segala hiburan yang diberikan para badut. Walau dengan maksud untuk menyakiti hatimu, namun para badut itu sepertinya lupa bahwa hatimu itu suatu saat bisa menjadi kebal. Dan sepertinya aku harus menganjurkan anak-anak kecil lain untuk tertawa pada para badut yang menghampiri mereka. Sebab mereka itu umpama air digenggam tiada tiris. Sosok-sosok yang sangat bangga menepuk dada di depan orang buta, lalu bertutur manis tentang sisa emas mereka pada telinga orang tuli. Mereka adalah para badut yang senang melucu di depan orang bisu yang berdompet tipis. Mungkin dengan begitu, tidak akan ada yang berani menentang mereka.

Hingga suatu saat mereka berhenti sejenak untuk menghiburku. Mereka sempat berubah menjadi manusia demi untuk mengamati tingkah lakuku. Mereka pikir dengan menjadi badut mereka akan menghiburku lewat tangis dan putus asa. Namun yang ada, tawaku ini malah semakin hidup untuk mereka, selagi tubuhku membelakangi wajah-wajah mereka. Dan kurasa mereka memang lupa arti "menghibur sebagai badut" yang sebenarnya.

Bagi mereka rambutku umpama kopra yang tidak punya daya jual, yang menggimbal serta menjuntai membentuk ayunan untuk primata. Namun mereka tidak tahu saja, setiap helainya ini menampung segala lelucon mereka yang hampir menghentikan kerja jantungku. Dan terima kasih kepada mereka, sebab daya tarik utamaku sekarang adalah rambutku.

Bagi mereka pula aku ini mahasiswa kuno yang selalu suka mengenakan tas selempang, lalu memakai kupluk dengan warna mencolok. Mereka tidak tahu saja, tas selempangku itu berisi seluruh keluh yang sempat menahanku untuk tertawa. Kau tahu rasanya lebih baik membalas cemoohan mereka yang membencimu daripada harus menyimpannya dalam sebuah tas. Sedang kupluk yang mencolok itu adalah gambaran diriku yang sebenarnya. Bagaimana aku bisa lebih hidup dengan seluruh cercaan mereka. Dan terima kasih pada mereka, aku akhirnya memiliki seorang kekasih yang cantik.

Lalu kata mereka aku ini manusia bebal yang senang berbuat maksiat. Dan mereka kembali menjadi badut sedang aku terus kembali menjadi anak kecil. Mereka kembali melucu dan menceritakan betapa bebalnya aku, sedang aku hanya tertawa sambil memberikan kaca pada mereka.

Namun sepertinya para badut itu teramat kesal padaku. Mahasiswa urakan yang akhirnya mendapat gelar sarjana terbaik, yang pergi mengikut yudisium dengan sebuah vespa tua yang warnanya begitu nyentrik, sedang yang lain sibuk memperbaiki toga di kepala mereka agar kedudukannya pas dan manis, serta riasan yang terus dipantau di kaca kecil agar tidak luntur ketika mereka menitikkan keharuan. Memang bagi mereka aku ini bukan apa-apa. Tidak ada bandingannya dengan siapapun. Selalu dan akan terus begitu.

Tak apa, selera humorku masih terlalu tinggi dan aku akan kembali tertawa.

Kini lelucon mereka berganti setelah tahu anak kecil itu telah dewasa dan mapan. Mereka datang menghampiriku sebagai para pengusaha yang menawar untuk kerja sama, bukan sebagai badut. Mereka membukakan pintu rumah mereka, saat yang kubutuhkan hanya emperan untuk berteduh dari hujan. Mereka menyajikanku makanan lezat, saat yang kubutuhkan hanya segelas air. Mereka mendengarkanku musik klasik, saat yang kubutuhkan hanya siaran dari radio tua. Mereka menawarkanku untuk mencoba Lamborghini mereka, namun vespaku sudah siap untuk melaju pedalaman nusantara yang terdalam sekalipun.

Dan di sana, kulihat seorang anak kecil yang sedang tertawa melihat masa depannya saat ia dikepung para pembenci. Lalu kuberi dia sebuah iPod dan ada banyak sekali lagu reggae di sana. Kulihat anak itu mulai menutup telinganya, lalu menari di atas cercaan para pembenci. Dan lebih baik memang api dipadamkan dengan air.

Lalu aku kembali tertawa, dalam perjalananku menuju rumah sakit. Kata istri, bayiku telah lahir: Dan ia pun ikut tertawa, seperti ayahnya.

Kota Hujan, 25 Juli 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now