Catatan: Biarkan Aku Mengingatmu

139 8 7
                                    

Kali ini aku takkan membahas waktu jika saja ia dapat berjalan mundur ke belakang. Kali ini aku takkan membahas waktu jika saja ia mampu untuk menahan lajunya jarum yang berdetik. Kali ini aku takkan membahas waktu jika saja ia bisa membawaku kembali padamu. Tidak, kali ini aku takkan lagi membahas waktu dan mempersalahkannya atas kenangan yang telah berlalu.

Segala sesuatu yang telah dan akan terjadi, pasti akan sampai pada titik di mana ia akan berlalu dan terus berlalu bersama waktu yang berdetak. Hidup ini punya banyak tawaran bagimu. Ia takkan pernah mungkin datang dengan hanya menawarkan satu pilihan. Namun ia punya ribuan pilihan yang kupastikan akan mempertemukanmu pada titik di mana dilema akan menjadi sahabat karibmu yang akan merangkulmu. Hidup ini punya rasa yang dapat kau sesapi dalam diam kala pikiranmu bertabrakan dengan kenangan yang sungguh mati ingin kau lupakan. Namun hati juga memiliki rasa yang berhak untuk diungkapkannya. Ia berhak memilih, ke mana dan kepada siapa ia akan menjatuhkan pikiran. Sekiranya menurutku mengenai waktu dan rasa, ia adalah napas hidup setiap orang. Semua orang memiliki waktu, dan semua orang pun tentu memiliki rasa. Bahkan pada mereka yang tak berlogika di luar sanapun, tentu masih mampu untuk merasakan detak jantungnya sendiri. Lalu bagaimana denganmu? Tuan tak berperikemanusian, Tuan tak berperasaan, serta Tuan tak bertanggung jawab?

Kau mungkin takkan percaya padaku, pada setiap torehan tinta yang kuukir pada lembaran usang yang selalu kau anggap angin lalu. Dan ya, kau memang tak pernah mempercayaiku, bahkan jika kukatakan padamu apa yang sesungguhnya kita ketahui bersama. Tuan, kau terlalu sibuk bersama hari-harimu. Kau terlalu sibuk mengembara, mengukur panjangnya jalanan yang kau buat bersamanya. Kau terlalu sibuk menyesap kopi hitam yang setiap malamnya takkan pernah melelapkan matamu. Kau terlalu sibuk bersama puntungan rokok itu, kau terlalu sibuk, Tuan. Terlalu. Bahkan dari 365 hari yang kau punya, tak pernah sedikitpun terbesit dalam benakmu untuk menyisihkan sehari saja waktumu untukku. Kau, kau selalu saja menjadi orang asing di mataku. Dan kau tahu, Tuan? Itu cukup merobek batinku. Cukup untuk menghancurkanku sehancur-hancurnya.

Aku ... ingin sekali bercerita tentangmu pada khalayak. Ingin sekali melukiskan wajahmu pada hangatnya senja yang menerpa. Ingin sekali menggaungkan namamu pada telinga setiap mereka yang tuli. Aku ingin sekali memanggilmu saat mereka semua menertawaiku. Aku ... ingin sekali memanggilmu , Papa.

Namun ya, kau masih saja seperti itu. Bahkan kumpulan kertas usang itu kini telah menjadi sebuah buku tua, yang siap menamparku kapan saja, pada realita di mana aku kehilangan sosokmu, Papa.

Dan masih segar dalam ingatanku, hari itu, hari di mana kau memperkenalkanku pada seorang wanita bergaun merah gelap. Gaunnya terlalu gelap seperti darah. Namun cukup untuk memikat kedua bola matamu. Katamu, kalian hanyalah sepasang sahabat. Kau telah mengenalnya sejak lama namun tak pernah mampu untuk memperkenalkannya pada isterimu sendiri. Katamu ia adalah sosok yang sangat baik. Katamuia selalu mengerti keberadaanmu dan terlalu ikhlas dalam menerima setiap kekuranganmu. Dan pada saat itu nalarku beradu kecepatan bersama perasaan yang kian membuncah. Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan padaku? Namun kau memintaku untuk bermain bersama desau angin yang berhembus. Biarkan semuanya berlalu tanpa ada suara yang menemani.
Lalu tiba saat di mana kau membawaku menuju rumah ibumu. Katamu kau hendak beristirahat sebentar, membasuh diri, lalu hendak membawaku pulang, dan pada akhirnya kau kan kembali pada kantormu. Namun malam itu juga aku menerima sebuah panggilan masuk yang berasal dari ponselmu. Mataku sedikit menyipit saat membaca namanya. Nama wanita yang selama ini selalu membuat hatimu gundah. Lalu aku mengangkat ponsel itu, beranjak menjauh beberapa meter, hanya agar kau tak mendengar percakapan kami. Dan kurasa kala itu kaupun mengerti. Kau melempariku sebuah senyuman. Dan aku sendiri tak mampu mentafsir, apakah itu adalah sebuah senyuman bahagia ataukah senyuman kekecewaaan. Telepon pun tersambung. Wanita itu berujar dengan sangat antusiasnya padaku. Ia mulai menceritakan banyak hal. Kukatakan ia saat itu mencoba menarikku masuk ke dalam ruang nostalgia yang dibangunnya ... untuk menghancurkan keluargaku.
Kau tahu aku tak pernah suka memiliki kisah hidup yang sama seperti kisah yang selalu dipertontonkan di layar kaca. Kau tahu aku tak pernah percaya pada mitologi masa lalu yang katanya mampu untuk menarikmu masuk ke dalamnya. Kau tahu aku tak pernah percaya bahwa kau akan meninggalkanku, Papa.
Kisah ini begitu klise, teramat murahan. Hampir dua jam aku mendengarkan wanita itu bersua. Oh, Papa kurasa wanita itu benar-benar akan merebutmu dari kami. Setiap kata yang diucapkannya seolah telah disusun sedemikian rupa agar aku mengerti bagaimana sesungguhnya kisah cintamu berjalan bersamanya. Ya, wanita itu tak pernah berkata bahwa kalian pernah menjadi seseorang yang begitu dekat, bahkan mungkin terlalu dekat. Namun dari tutur katanya, aku mengerti. Gadis kecilmu ini mengerti, kalian begitu berarti bagi satu sama lain. Lantas apa yang harus kulakukan? Aku hanya mendengarkan dengan saksama bagaimana kepedihan itu menghunus jantungku tanpa sama sekali mengeluarkan darah. Kukatakan aku terluka atas kenangan yang diberikan oleh hari itu, kukatakan hatiku begitu hancur mendengarnya. Namun apa, apa yang kau lihat? Kau hanya melihatku tersenyum getir, tanpa menelusuri dalamnya manik hitamku yang mencoba menyentuh hati nuranimu.

Antologi Cerpen Dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang