Catatan: Untuk Malam

331 9 0
                                    

Malam selalu terasa panjang, bagi jiwa-jiwa yang lelah dalam penantiannya. Ia senang memelukmu dalam diam ... bersama linangan air mata yang bermain di pipimu. Namun ia pun akan selalu menenangkan, walau menyimpan sejuta resah dan ribuan tanya tentang esok dan apa yang akan dibawa pergi oleh waktu, menjadi suatu kenangan yang belum tentu terekam dalam ingatanmu sepanjang hidupmu.

Jangan tanya padaku bagaimana dan kenapa aku begitu jatuh pada rangkulan sang malam. Ia adalah alasanku 'tuk tetap berharap pada esok yang lebih baik, esok yang selalu menjadi akhir dalam doaku, atas asa yang selalu kuucapkan.
Ia akan selalu lebih unggul dibandingkan fajar yang menyingsing. Ia akan dan selalu lebih mampu mengingatkanmu pada kisah lama yang sekarang tengah kau lanjutkan kembali. Ya, kisah lama yang terbuat 'tuk diakhiri pada pintu penyesalan yang sia-sia.

Malam mungkin tak datang sebaik senja yang selalu indah walau menyisakan duka. Namun kau pun tahu filosofi senja, yang hadir hanya 'tuk ucapkan perpisahan. Lalu, apakah ia lebih baik dari itu? Tak ada yang tahu.

Aku selalu melihat malam hadir membawa sendu. Tak ada awan, tak ada gemintang. Selalu dan begitu. Namun malamku bukan hanya tentang tangisan dan untaian kata tak terucap. Ia (sempat) menyisipkan tawa dan cerita yang panjang. Tentang rindu yang tak memiliki penawar. Pekerjaan takdir yang sama sekali tidak bisa kita tebak.

Malamku pernah tertawa pada pahitnya duka yang harus ia tanggung, pada sadisnya tamparan realita yang mencekam. Namun ia bukan hanya tentang visi atau kemelut yang begitu erat menggenggam. Malamku juga bernyanyi tentang rasa dan asa yang selama ini telah dirajut menjadi balutan kenangan masa lalu. Dan itu berlangsung sekian tahun lamanya tanpa diketahui sang fajar ... yang hanya bisa melihat kedua mata sembabmu, tanpa mampu menyembunyikan lukamu.

Namun malam ini telah menjadi malam yang takkan pernah lagi sama. Kulihat rembulan enggan bangkit dari peraduannya. Sedang gemintang berhamburan mencari tempat perteduhannya. Kita berbicara dan mencari ke mana hilangnya sang rembulan yang lupa pada kilaunya mentari yang memeluknya dari belakang. Bahkan gemintang pun tak berarti apa-apa. Cahaya redupnya bahkan tak mampu membuatmu tersenyum.

Dan masih di sini, pada sisa-sisa malam yang akan berganti, kulihat rembulan masih enggan bangkit dari peraduannya. Gemintang pun perlahan meredup, membiarkan fajar 'tuk kembali mendekap sang pujangga. Dan dari sinilah aku mengerti, malam selalu menjadi bagianku, namun bukan tentang rembulan atau gemintang. Ini lebih kepada halimun yang selalu muncul dibalik derasnya hujan.

-Kota Hujan, 4 Februari 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now