Puisi: Independen

134 3 0
                                    

I : nikah yang kausebut Karib?
N : eraca palingan bungkal, hati palingan Tuhan. Asal senang kaurangkul aku, asal susah kausiksa aku.
D : emi segepok kertas merah, kaupasang kuk itu pada tengkukku. Asal, pedati ini tetap melaju, warnai matamu yang sudah terlanjur hijau.
E : lakmu, "Mau bagaimana lagi? Kalau tidak, kita akan mati di kota besar ini!" Dan aku tak lagi menanyakan hal yang sama.
P : erangaimu yang manis ternyata menghipnosis otakku yang memang dangkal.
E : ntah itu sihir, atau takdir, mau saja kudibodohi olehmu.
N : elangsa kini telah membuatku kenyang. Hidup di tanah rantau, dimanfaatkan kawan sendiri. Masih saja aku bersyukur.
D : endam membara sempat membakar tubuhku. Namun syukurlah, baranya tak tersalurkan padamu. Kuputuskan untuk berdiri sendiri. Tak lagi terikat dengan kedok Karib-mu.
E : ntah bagaimana kau melihatnya sekarang,
N : amun sampai nanti takkan kautemui lagi aku yang katamu adalah Kawan Karibmu, sebab pintuku telah kututup rapat untukmu.

Kota Hujan, 8 Juli 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now