Chapter 51

49 18 20
                                    

Tiaia kembali duduk di kursinya, setelah sebelumnya menyalakan lilin aroma terapi dan mengganti piringan hitam dengan alunan klasik yang menenangkan pikiran

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Tiaia kembali duduk di kursinya, setelah sebelumnya menyalakan lilin aroma terapi dan mengganti piringan hitam dengan alunan klasik yang menenangkan pikiran. Netra coklat Psikiater wanita itu menatap sendu pada Gian yang sudah sejak tadi merebahkan dirinya di kursi khusus pasien yang melakukan hipnoterapi.

Laki-laki itu tampak begitu tenang dengan mata tertutup, hembusan napasnya terdengar teratur di tengah keheningan klinik Tiaia itu.

"Gian," panggil Tiaia sambil menyentuh punggung tangan laki-laki itu.

Gian membuka matanya, lantas menatap Tiaia tanpa suara.

"Kamu siap?" Tanya Tiaia.

Gian mengangguk sekilas, lantas laki-laki itu kembali menutup matanya, lalu mengikuti arahan dokternya itu untuk menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.

Beberapa saat kemudian, Gian mulai mengantuk, perlahan laki-laki itu terlelap, namun tetap dibuat dalam keadaan sadar. Gian tidak tertidur sepenuhnya, itu bertujuan agar sugesti yang diberikan Tiaia dapat mempengaruhi alam bawah sadar laki-laki itu secara sempurna.

"Gian, kamu bisa mendengar saya?" tanya Tiaia memastikan jika laki-laki itu sudah di tahap induksi¹.

Gian mengangguk samar, yang membuat Tiaia meneruskan sesi hipnoterapinya pada laki-laki itu dengan memberikan beberapa sugesti yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi mental, emosi, kepercayaan diri, gangguan kecemasan, dan penerimaan atas segala kejadian buruk yang menimpa laki-laki itu.

Proses hipnoterapi berjalan cukup baik, meski Gian masih saja menangis dengan tubuh berkeringat, namun kali ini laki-laki itu jauh lebih tenang dalam menjawab pertanyaan maupun mendengarkan sugesti Tiaia dibandingkan hipnoterapi sebelumnya. Terakhir kali, bahkan laki-laki itu hampir membunuh Tiaia dengan tangannya sendiri.

"Gian, sekarang kita kembali ke delapan tahun lalu, kamu ingat kejadian di tol Mercubuana?" tanya Tiaia.

Setelah mendengar ucapan Tiaia itu, terjadi perubahan signifikan pada ekspresi di wajah Gian. Laki-laki itu menautkan alisnya, kepalanya juga mulai bergerak gelisah, sepertinya ia mencoba memaksakan dirinya untuk mengambil kembali ingatan yang telah dihapus oleh alam bawah sadar dari memorinya.

"Terakhir kamu bilang itu bukan kecelakaan tunggal, benar?" tanya Tiaia.

Gian mengangguk, bulir keringat semakin banyak bermunculan di kening laki-laki itu.

"Lalu apa yang kamu tabrak?"

Deru napas Gian mulai tidak teratur, tubuhnya kembali memberikan reaksi penolakan atas ingatan yang ia coba munculkan kembali secara paksa itu. Tubuh laki-laki itu mulai bergetar dan bergerak gelisah, bibir ranumnya perlahan mulai memucat dan mengering, keringat yang tadi bertengger di kening laki-laki itu sudah meluncur memenuhi wajah tampannya.

"Apa yang kamu liat?" tanya Tiaia.

Gian tidak menjawab, laki-laki itu hanya mengerutkan keningnya, mencoba terus menggali ingatannya delapan tahun lalu itu.

Mercusuar di Tengah Laut (On Going)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt