39

1.2K 140 11
                                    

Laporan

*

Langit hitam dengan taburan bintang mulai bersinar kala awan-awan yang menutupi bulan berpindah. Gita yang berada di balkon kamarnya menatap sang primadona malam dengan mata telanjang, mengagumi keindahan cahayanya yang berasal dari matahari.

Mata Gita terpejam perlahan, rambutnya berterbangan karena angin malam yang mulai bertiup. Tubuh Gita yang tadinya terasa dingin, kini perlahan mulai menghangat kendati di peluk oleh Kathrina dari belakang.

"Awas masuk angin, loh," pesan Kathrina yang merasa kalau angin malam hari ini terasa begitu dingin.

Gita menerima tangan Kathrina yang memeluk dari belakang, mengusapnya perlahan dengan tatapannya yang masih mengarah ke langit malam. Mereka berdua berpelukan, menikmati indahnya malam di tengah sinar purnama.

"Iya, sayang."

Bibir Kathrina terpicing terangkat, wajahnya tak henti-hentinya tersenyum sedari tadi sore karena Gita. Gadis ini benar-benar tahu bagaimana membuat wajah Kathrina menjadi kelu.

"Papa kamu barusan telpon, hari ini ga pulang," lapor Kathrina setelah beberapa saat mereka berdua hening tanpa obrolan. Gita mengangguk tanpa suara, masih sibuk menikmati angin yang sekarang semakin kencang menerpa kulitnya.

"Kamu masuk duluan aja," titah Gita seraya melonggarkan pelukan Kathrina. Dirinya benar-benar serius menyuruh Kathrina untuk meninggalkannya di balkon.

Kathrina menggeleng, tapi pelukannya tetap ia lepas. "Aku masuk, tapi aku lihatin kamu dari balik pintu," ucap Kathrina yang tak ingin meninggalkan Gita sendirian tanpa pengawasan.

Gita hanya mengangguk, lagipula Kathrina tak akan mendengar apa yang akan Gita ucapkan kala ia sendiri nanti dari dalam.

Bibir Kathrina tersenyum tipis lalu mengecup pipi Gita sekilas, sebelum akhirnya ia berjalan masuk dan menutup pintu kaca balkon. Kathrina menarik bangku rias Gita dan duduk tepat menghadap punggung Gita yang saat ini sudah bermain dengan ponselnya.

Jemari panjang Gita mengetuk layar pipih itu, melakukan panggilan suara pada seseorang sebelum ia menempelkan ponselnya di telinga.

Dering ponselnya yang terputus-putus kian berubah menjadi suara seorang perempuan, menanyakan alasan kenapa Gita menelponnya malam-malam begini.

Di seberang telepon itu, Chika yang sedang mengerok punggung kekasihnya, kerepotan karena tangannya berminyak dan harus mengapit ponselnya dengan pundak dan telinganya untuk berbicara dengan Gita.

"Halo, Gita. Kenapa?" Tanya Chika yang masih mengerok punggung Tara yang mulai kemerahan. Suara sendawa sesekali keluar dengan keras dari mulut Tara, membuat aroma udara di sekitar Chika menjadi tidak sedap.

Gita diam sesaat, memikirkan kata-kata yang tepat untuk ia berikan pada Chika. Pasalnya, ia tak ingin dirinya menjadi terseret kedalam rencana apik yang telah ia susun dengan matang.

"Laporkan polisi, kalau di apartemen X ada pengedar narkoba," titah Gita membuat Chika menjatuhkan uang koin yang ia gunakan untuk mengerok punggung Tara.

"Loh, kenapa ay?"

Chika masih tertegun, belum ia membalas perintah dari Gita, panggilan itu telah terputus secara sepihak. Netra Chika membulat menatap Tara, merasa takut dengan Gita yang mengetahui bahwa ada orang yang melakukan pengedaran narkoba di apartemen itu, yang tak lain dan tak bukan adalah teman Chika sendiri, Lulu.

Chika sudah tahu kalau Lulu adalah pengedar narkoba sedari dulu. Distribusi barang ilegalnya selama ini tak pernah ketahuan, cara mainnya pun bersih tak memiliki jejak. Itulah kenapa Chika terkejut dan takut pada Gita yang tiba-tiba mengetahui tentang narkoba itu.

"Gita tahu soal Narkobanya Lulu," jawab Chika masih dengan tatapannya yang kosong namun kali ini ke arah kekasihnya. "Dia nyuruh aku buat laporin ke polisi."

Tara sejenak meregangkan badannya yang kaku, lalu dengan pelan ia menyandarkan kepala Chika di dada telanjangnya dan mengelus pucuk kepala Chika. "Harus kita lakuin," balas Tara yang sebenarnya juga tak tega melaporkan Lulu pada polisi. Bagaimanapun juga, Lulu adalah teman Tara juga.

"Tapi—"

"Harus, Chik. Kita ga bisa menolak permintaan klien yang udah bayar mahal." Tara menjelaskan, mereka berdua tahu dari dulu kalau salah satu resiko pekerjaan mereka ini adalah perasaan. Apabila teman, saudara, keluarga ataupun orang yang dekat dengan kita di minta untuk di bunuh oleh klien, maka mereka harus membunuh mereka.

"Biar aku aja yang laporin," pungkas Tara seraya mengambil sarung yang tergeletak di sebelahnya, memakainya untuk menutupi tubuh telanjang dada Tara lalu berjalan mengambil ponselnya.

"Halo, kepolisian? Saya punya laporan tentang edaran narkoba."

-

Hutan adalah tempat yang paling menakutkan bagi orang-orang, terlebih jika hutan itu lebat dan tertutup. Tapi bagi tiga perempuan yang sedang melakukan reuni ini, hutan adalah tempat yang sangat pas untuk bertemu.

"Lama ga jumpa ya, Shani." Feni tersenyum kala perempuan tinggi dengan wajah campuran lokal keluar dari dalam mobil. Diikuti oleh Gracia yang berjalan dibelakangnya. "Abis date, ya?" Terka Feni sambil terkekeh di tempat duduknya.

Shani dan Gracia hanya menatap Feni dengan diam. Angin berhembus dengan kencang, membuat gudang reyot tempat mereka bertemu mengeluarkan suara karena rapuh.

"Cuek banget. Hey, sadar! Kita udah ga ketemu berapa tahun coba," sambung Feni memecah keheningan antara mereka bertiga. "Ayolah, ga sepenting itu juga 'kan?"

"Ga penting?" Beo Gracia dengan tegas dan matanya yang melotot. Ia berjalan mendekat pada Feni lalu menampar pipi kanannya dengan kuat, membuat pandangan Feni yang semula kedepan menjadi ke sebelah kiri.

Rasa nyeri dan warna merah merona di pipi Feni, meringis kecil kala Gracia kembali membentaknya didepan muka. "KAMU GILA, FEN!" Darah Gracia benar-benar mendidih, dirinya marah serta benci dengan Feni yang selalu melakukan apapun sendirian. "Tolong, hargai nyawa kamu sendiri!"

Shani yang berdiri dibelakang, hanya menatap dua temannya yang kini adu tatap meluapkan emosi masing-masing. "Udah?" Tanya nya yang mulai jengah karena perdebatan Gracia dan Feni.

Dua perempuan itu seketika melemaskan otot-otot mereka kala Shani sudah angkat bicara, mereka tak ingin melebihi batas dan membuat Shani menjadi lebih marah.

"Kayak anak kecil kalian berdua," sindir Shani seraya berjalan mendekat pada mereka. "Aku punya rencana," imbuh Shani. Tangannya ia letakkan di kedua pundak Gracia dan Feni, mencoba menyalurkan keyakinan atas rencana yang telah ia susun.

Gracia dan Feni saling memandang lalu kembali menaruh atensi penuh pada Shani yang berada ditengah. "Rencana apa?" Tanya Feni yang kebingungan dengan rencana Shani. Padahal, Feni si otak jenius sudah berusaha mencari rencana dan solusi untuk masalah ini, tapi tak kunjung ia temukan.

Gracia ikut bertanya, penasaran seperti apakah rencana yang akan Shani berikan pada mereka. Apapun itu, Gracia tahu satu hal. Itu pasti hal Gila.

Bibir Shani terangkat tipis, menampilkan smirk kecil yang membuat siapapun tahu kalau Shani memiliki rencana yang luar biasa.

"Kita versus sama mereka."

.
.
.
.
.

Ada udang dibalik bebatu, batunya hilang Shani nya datang

PENGASUHWhere stories live. Discover now