06 - perpustakaan

7.5K 887 10
                                    

Di sepanjang lorong kelas, Lusi berlari mengejar Bu Rena yang ingin keluar menuju luar sekolah. Sambil membawa setumpuk buku di tangannya yang tak dia pedulikan lagi, lari Lusi makin kencang dan napasnya tersengal. Bu Rena menghentikan langkah seiring dia mendengar teriakan Lusi dan suara langkah sepatu yang menggema di lorong.

"Bu Rena!"

Lusi berhenti tepat di hadapan Bu Rena yang menatapnya dengan kening mengerut. "Ada apa lagi?"

Lusi tak perlu mengatakan untuk memberi tahu yang sebenarnya. Dia hanya mengangkat sebuah kamera milik Gayatri yang dia pinjam belakangan ini. Kamera itu Lusi gunakan untuk memotret segala kejadian yang ada di sekolah.

Saat memasuki SMA Adi Bakti, satu harapan Lusi yang ingin dia realisasikan, yaitu membuat perubahan sekecil apa pun itu untuk sekolah yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu selama tiga tahun ke depannya. Sekolah ini tak banyak yang bisa dibanggakan. Kegiatan ekstrakurikuler tidak berjalan lancar. Tidak ada jadwal ekstrakurikuler apa pun itu di sore hari. Anggota-anggota yang jumlahnya tak seberapa pembagian tugasnya tak ada yang beres. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua yang asal-asalan. Dan segala hal lainnya yang tak banyak bisa dibanggakan.

Maka dari itu, Lusi hanya ingin membuat satu hal selama dia bersekolah di sini: membuat koran sekolah di ekskul jurnalistik. Namun, tak ada yang mendukungnya. Ketua OSIS bahkan hanya tertawa melihat niat Lusi yang katanya hanya sia-sia. Bu Rena satu-satunya harapan Lusi sekarang karena guru muda itu merupakan guru Bahasa Indonesia dan mengenal salah satu tempat percetakan.

Niat Lusi hanya agar koran sekolahnya bisa sampai ke masyarakat dan melihat perubahan di SMA Adi Bakti seandainya perubahan itu ada. Dan Lusi bisa membuktikan bahwa Adi Bakti bisa menjadi sekolah yang akan mematahkan anggapan orang-orang di luar sana.

Lusi menatap Bu Rena dengan penuh harap. Cewek itu menggigit bibir, menunggu jawaban Bu Rena yang Lusi harap akan berbeda dari jawaban-jawaban Bu Rena sebelumnya.

"Lusi. Sudah berapa kali Ibu bilang, sistem seperti itu sia-sia." Bu Rena menjawab dengan suara pelan. Terlihat dari rautnya bahwa dia menyerah dan tak bisa mendukung kemauan Lusi untuk sekolah ini.

"Tapi, Bu, setidaknya kita punya perubahaan di sekolah ini walau kecil aja."

"Bagaimana dengan pembicaraan kamu dengan Ketua OSIS?" tanya Bu Rena tenang. "Ketua OSIS saja nggak gitu-gitu amat buat projek."

Lusi mengakui itu. Namun, dia punya alasan untuk tetap mempertahankan keinginannya. Lagipula, Ketua OSIS juga tak banyak melakukan tugas-tugasnya di sekolah ini. "Tapi untuk ekskul-ekskul yang nggak berjalan—"

"Lusi, saya bilang itu sia-sia. Kamu lihat ada berapa banyak siswa di sekolah ini? Tidak sebanyak di sekolah-sekolah lain. Kamu kondisikan juga dengan tingkat keantusiasan mereka."

"Justru itu kita harusnya buat perubahan, Bu—"

"Maaf, Lusi. Saya nggak ada waktu untuk itu." Bu Rena memandangi jam tangannya, melihat sudah pukul berapa sekarang. Perempuan itu menghela napas. "Saya harus mengajar di sekolah lain sekarang. Maaf, Sayang."

Lusi hanya diam. Ketika Bu Rena menepuk pundaknya beberapa kali, Lusi hanya mengangguk-angguk tak bisa lagi mengatakan apa-apa. Dia tak meninggalkan tempatnya saat Bu Rena sudah meninggalkannya sendirian di lorong. Kepergian Bu Rena meninggalkan harapan yang pupus pada Lusi yang tak tahu lagi harus melakukan apa.

Lusi hanya ingin kuliah di kampus impiannya dan lulus dari SMA Adi Bakti yang tak akan dianggap sebagai sekolah pembuangan lagi.

Lusi berbalik dan melangkah. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Hera. Saat panggilannya diterima, dia langsung berbicara.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang