76 - bukan yang terakhir

3.3K 512 51
                                    

Lusi mengerjap, lalu tanpa sadar dia memejamkan mata. Melihat itu, Zena tak bisa menahan tawanya.

"Tapi bohong." Zena terbahak melihat Lusi yang langsung mengerjap salah tingkah.

"Ish!" Lusi mendorong Zena. Meski sulit, tetapi Zena yang segera berpindah tempat. Cowok itu puas tertawa di sofa sembari menatap Lusi yang sedang mencari-cari sesuatu di bawah lantai. Pasti mencari kunci kamar.

"Lo nungguin gue?" Zena menahan tawa. Dia menyangga kepala belakangnya di sandaran sofa. Sambil bersidekap, ditatapnya Lusi yang terlihat salah tingkah itu. "Kecewa nggak jadi gue cium?"

"Enggak." Lusi memandangnya kesal.

"Ngaku aja!"

Lusi menghentakkan kakinya di lantai. "Enggaaak. Gue bilang enggak."

"Nggak usah malu," ejek Zena.

"Ih, nggak usah maksa." Lusi memandangnya kesal, lalu cewek itu kembali sok terlihat mencari kunci.

"Kenyataannya lo nunggu gue, kan?" ejek Zena sekali lagi.

Lusi menegakkan tubuh dan memandang Zena tajam. "ZENAAA! Nyebelin."

"LUSIII! I love you."

"Ngejek banget, ya?"

"Nggak, cinta banget."

Lusi memutar bola matanya. Dia mendekati Zena dan berdiri di depan Zena yang masih duduk di sofa. "I love you too," bisik Lusi lembut, dengan muka merah padam.

Zena menaikan alisnya. Dia tersenyum semringah. "Nggak tahan buat nggak bilang I love you, ya?"

"Bantuin nyari kunci, dong!" Lusi mengalihkan tatapan sekaligus pembicaraan. Lusi sangat kentara salah tingkahnya.

Zena berdiri dan ikut membantu Lusi mencari kunci. Belum satu menit, cowok itu sudah menemukan kunci itu terselip di sofa. Zena perlahan mengambilnya, berusaha tak menimbulkan suara agar Lusi tak menyadari. Setelah kunci itu berhasill pindah ke kantong celananya, Zena pura-pura ikut mencari kunci lagi.

"Aduh, lo, sih." Lusi meremas rambutnya. "Gimana, dong?"

Zena mengangkat bahunya.

"Zena." Lusi berhanti di depan Zena, lalu menengadahkan tangan sembari menatap mata cowok itu. "Jujur. Lo udah nemuin kuncinya, kan?"

Zena menggeleng polos.

"Terus ngapain senyum-senyum?" tanya Lusi kesal.

"Gue nggak senyum-senyum," kata Zena sambil menahan senyum.

"Nggak lucu tahu. Gue lagi serius, nih. Kalau bunda tiba-tiba datang lagi gimana?"

"Janji sama gue dulu."

Lusi menyipitkan mata. Dia bersedekap sambil menghela napas. "Apa?"

Zena menyajajarkan wajah mereka, membuat wajah Lusi refleks mundur. "Jangan pernah berpaling dari gue."

"Harusnya, gue yang ngomong gitu ke elo." Lusi mendengkus dan menengadahkan tangan kembali. Ah, dia terbayang ucapan Sere lagi. "Kuncinya sini."

Tok Tok Tok

Keduanya menoleh ke pintu, lalu mereka saling pandang. Zena mengambil kunci yang dia dapatkan dari saku dan segera membuka kunci pintu itu. Sebelum terbuka, Lusi menahan tangannya.

"Kalau bunda gimana?" tanya Lusi khawatir.

"Ya nggak gimana-gimana. Palingan kita langsung dinikahin. Nggak perlu pakai acara tunangan segala. Lo nggak perlu tunangannya sama Rama, deh."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang