17 - genggaman erat tangan

5.7K 769 13
                                    


Kelopak mata gadis kecil itu terbuka perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelopak mata gadis kecil itu terbuka perlahan. Bau khas rumah sakit langsung tercium. Langit-langit putih terlihat hanya seperti bayang-bayang di atasnya. Pandangannya masih mengabur, kelopak matanya belum terbuka sepenuhnya. Pening di kepalanya itu masih terasa. Lusi kecil bisa mendengar perkataan seseorang di ruangan itu, tetapi tak begitu jelas. Kemudian satu-satunya orang di sana keluar sambil mengatakan sesuatu.

Tak lama seseorang berjas putih masuk ke ruangan tersebut dan menyentuhkan sesuatu di dadanya. Perbincangan kembali berlanjut. Seorang perempuan berbicara. Suara itu sangat dikenalinya. Lusi berusaha membuka mata meski belum sepenuhnya terbuka.

Suara-suara di sekelilingnya mulai terdengar jelas. Pandangan Lusi tertuju ke pintu yang tiba-tiba terbuka sedikit. Anak laki-laki mengintip di balik pintu dengan mata sembab, kemudian mengatakan sesuatu yang bisa Lusi dengarkan dengan begitu jelas.

"Aku mau pulang sekarang...."

Lusi mengedipkan mata yang terasa berat.

"Iya, sayang. Sebentar." Suara perempuan yang menolongnya kembali terdengar jelas, merespons perkataan anak laki-laki tadi yang sudah menghilang di balik pintu.

Lusi tak bisa menggerakkan kepala untuk bisa melihat jelas perempuan itu karena setelah perempuan itu mencium keningnya dan membisikkan sesuatu kepadanya, dia langsung pergi.

Perempuan itu keluar dari pintu dan tak lagi menoleh ke arah Lusi.

***

Saat menutup pintu dari luar, Lusi teringat mimpi semalam. Perempuan itu muncul di mimpinya untuk kali pertama. Mungkin mimpi itu muncul karena dia terlalu memikirkannya. Meski siluet perempuan itu mulai teringat, Lusi tak bisa sedikitpun mengingat bagaimana wajahnya.

"Aneh banget," gumam Lusi sambil menarik tangannya dari kenop pintu yang sudah tertutup rapat. Dia berbalik dan saat itu juga dia tak bisa melangkah. Seseorang yang berdiri di depan pagar membuat kedua kakinya terasa kaku.

Di sana, Zena tersenyum kepadanya. Lusi memegang erat tali tas punggung yang dia pakai karena—sedikit—gugup.

Dia memandang Zena yang sudah memakai seragam lengkap meski tetap saja cowok itu tak menggunakannya sesuai aturan. Cowok itu bahkan tidak memakai tas sama sekali.

Seperti seorang preman sekolah.

Rambutnya sangat berantakan. Dan anting di telinganya yang menambah kesan preman. Lusi tak mengerti kenapa sekolah tak mengambil paksa apa yang terpasang di telinga cowok itu.

"Ngapain lo di sini? Sepagi ... ini?"" tanya Lusi kaku.

Zena mengangkat kedua bahu. "Ngejemput lo. Emang ada opsi selain dari itu yang bisa gue jadiin alasan buat ke sini?"

"Buat ... apa?" tanya Lusi bingung.

Zena mengembuskan napas pelan. "Mau ke sekolah bareng atau gue tinggal sekarang?"

Lusi mengerjap. Dia masih mencoba mengerti apa maksud Zena. Dia segera turun dari tangga, melangkah membuka pagar, lalu keluar dari sana setelah menutupnya kembali.

Keduanya mulai melangkah beriringan menuju sekolah. Lusi diam-diam melirik Zena. Zena berjalan di sampingnya dengan santai dan sepertinya cowok itu tak akan mengatakan sesuatu. Lusi mengeratkan pegangannya kembali pada tali tas ransel. Bingung harus mengatakan apa.

Harusnya tadi gue ngamuk karena dia berani munculin muka di depan rumah gue lagi setelah segala hal menjengkelkan yang selama ini dia lakukan ke gue.

Lusi mengerjap perlahan.

Tapi, gue nggak mungkin ngelakuin itu karena semalam dia udah nolongin gue. Apa gue harus ngajak ngomong duluan aja, ya? Dia diem mulu dari tadi.

Lusi menggigit bibirnya.

Aduh. Jangan. Jangan, pokonya jangan, batinnya kembali berseru sambil menggeleng.

"Lus."

Lusi tiba-tiba terkejut mendengar suara berat Zena. "Ya...?"

"Boleh gue tahu kenapa lo mau pindah ke Phoenix?" tanya Zena.

Lusi mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab. "Phoenix itu SMA impian gue dari awal masuk SMP. Cuma karena beberapa hal, termasuk karena Adi Bakti deket banget dari rumah, jadi gue milih buat sekolah di Adi Bakti aja biar waktu gue ngurus Nenek di rumah jadi banyak."

"Lo masih punya Nenek?"

Lusi mengangguk kaku mendengar pertanyaan itu. Meskipun Nenek dan gue nggak sedarah, tapi dia adalah Nenek gue satu-satunya, kalimatnya tak bisa terungkapkan. Lusi hanya bisa tersenyum tipis.

"Mama, Papa, Adik, Kaka?" tanya Zena lagi.

"Cuma punya Nenek...."

Jawaban itu menjadi perbincangan terakhir persoalan keluarga. Zena tak mengatakan apa-apa mengenai hal itu setelahnya.

"Ngomong-ngomong, gue belum ngucapin terima kasih karena kejadian semalam." Lusi melangkah cepat dan menunduk. "Makasih, Zen. Karena lo udah ... nyelamatin gue."

"Nggak perlu jalan cepet-cepet juga kali," kata Zena diakhiri dengan kekehan yang membuat pipi Lusi terasa panas.

"Aduh, pake deg-degan segala," bisik Lusi jengkel pada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian mereka kembali melangkah beriringan dalam diam. Zena hanya bisa senyum-senyum sendiri melihat bagaimana Lusi tak sejutek beberapa hari yang lalu.

Tak sia-sia dia bangun subuh. Meski awalnya ogah-ogahan karena berpikir untuk apa juga dia berniat datang ke rumah Lusi sepagi itu? Namun, semua rasanya terbayar ketika tiba di depan rumah Lusi dan beberapa saat kemudian melihat Lusi baru akan berangkat.

Saat keduanya sebentar lagi tiba di sekolah, Zena mengernyit karena langkah Lusi yang makin pelan hingga berhenti. Saat menatap apa yang Lusi perhatikan, Zena makin mengernyit bingung.

Ada dua orang di dalam sebuah jeep cokelat yang sedang memandangi Lusi. Entah siapa mereka. Dugaan Zena mengarah ke apa yang terjadi semalam. Dua pria itu hanya diam di dalam sana.

Lusi mulai berjalan perlahan meski terlihat ragu. Zena melihatnya khawatir. Saat melihat dua orang itu bersiap keluar dari jeep, Zena langsung menggenggam tangan Lusi. Menariknya segera melangkah cepat memasuki gerbang sekolah.

Zena bisa melihat lewat lirikan matanya kalau dua pria itu kembali memosisikan diri tetap berada di dalam jeep. Mereka tak berani keluar dari sana apalagi memasuki area SMA Adi Bakti.

Saat mereka sudah memasuki area sekolah, Zena menatap Lusi yang terlihat takut. Tangannya dingin dan basah. Pandangannya terlihat kosong.

Zena tak mengatakan apa-apa. Dia hanya menggenggam erat tangan Lusi, memberinya semangat untuk masalah apa pun itu.

Karena bagaimana pun Zena belum bisa bertanya lebih tentang Lusi.

Setidaknya, untuk saat ini.

***


thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang