62 - perseteruan

2.7K 433 84
                                    

Zena menghampiri Shaq yang sudah menunggunya di koridor. Baru kali ini Shaq sangat serius sampai hanya ingin bicara berdua.

"Mau ngomong apa?" tanya Zena tanpa basa-basi.

"Katanya lo pacaran sama Luna, ya?" tanya Shaq langsung.

Zena menaikkan alisnya. "Kalau iya, kenapa?"

"Luna apa Lusi?" tanya Shaq lagi. Zena semakin tak suka mendengar pertanyaannya. "Luna bilang cuma 15 hari untuk menjadi Lusi lo. Lusi lo? Maksudnya..., aneh aja. Kenapa Luna harus jadi Lusi lo?"

"Emang kenapa? Mau jadi sok pahlawan lo?"

"Enggak." Shaq memandang langit. "Rada gimana aja. Soalnya gue suka sama Luna."

Zena terdiam. Dia menaikkan alis dan menatap Shaq tak percaya. Zena lalu tertawa. "Lo jangan cari gara-gara, deh."

"Gini." Shaq mengetuk-ngetuk jemarinya di tembok. "Lo nggak suka Luna, kan? Makanya gue cuma pengin bilang jujur ke elo soal perasaan gue ke Luna."

Zena berdecak. Dia memutuskan beranjak dari sana. Pengakuan Shaq membuatnya tak bisa menerima. "Harusnya lo nggak perlu ngomongin ini ke gue."

"Kenapa?" tanya Shaq. "Lo cemburu? Merasa tersaingi?

Zena berhenti melangkah, kemudian menatap Shaq. "Jangan ngebuat gue emosi."

Shaq perlahan mendekati Zena dan berhenti di hadapan Zena. "Gue ada penawaran. Gue nggak tahu pasti tujuan lo ngejadiin Luna sebagai pacar 15 hari lo. Kalau lo ngerasa bukan pengecut, lo mau tanding basket bareng gue? One bye one. Kalau gue kalah, gue bakalan mundur dan nggak perlu muncul di hadapan Luna lagi. Kalau lo yang kalah, berhenti ganggu Luna sampai kapan pun."

Zena berdecih.

"Gue tahu lo, Zen. Setelah 15 hari nanti, lo nggak bakalan berhenti gangguin Luna seperti janji lo, kan?"

Zena berdecak sebal dan kembali pergi dari hadapan Shaq. Sahabatnya yang satu itu paling tahu tentang sifatnya dan Zena benci akan kenyataan itu.

"Tanding basket atau gue bakalan nembak Luna setelah perjanjian kalian berakhir," kata Shaq yang membuat langkah Zena berhenti mendadak.

***

Luna mendorong masing-masing pelipisnya dengan jari telunjuk. Sejak tadi dia hanya sibuk memikirkan mengenai si pengirim surat. Satu-satunya yang bisa dia mintai bantuan adalah Bu Clarissa, tetapi khawatir akan diberi rentetan pertanyaan mengenai mengapa, untuk apa, atau kenapa dia ingin melihat rekaman cctv sekolah.

"Luna!" teriak Jihan sambil menarik tangan Luna. "Lo nggak mau lihat ke lapangan? Seru banget!"

"Hah? Apaan?" Luna tertatih karena Jihan menyeretnya dengan semangat sementara dia mengikuti Jihan dengan bingung. Luna semakin bingung melihat beberapa siswi yang berjalan ke arah yang sama dengan mereka berdua.

"Lo nggak mau lihat cowok lo main basket bareng ketua basket?" tanya Jihan. "Mereka ya lo tahu lah terkenal di kalangan cewek. Sebenarnya gue cuma pengin lihat Kak Shaq sih soalnya berprestasi gitu. Ilfeel sama yang satunya."

Luna mengernyit. Zena? Sudah jelas Zena. Baru saja Jihan menyebut cowok lo. Luna tak mengerti apa yang terjadi dan kenapa harus seheboh ini. Saat mereka tiba di lapangan indoor, Jihan menuntunnya ke tribune yang hampir penuh. Sorak-sorak terdengar sejak memasuki lapangan.

"Tadi ada yang umumin, 'ada tanding one bye one di lapangan basket indoor. Zena dan Shaq.' Terus ada gosip aneh juga, katanya mereka lagi ngeributin satu cewek!"

"Segitunya banget...?" Jika Luna tidak dalam situasi ini, maka sejak tadi dia sudah tertawa mengejek dua cowok itu. Akan tetapi, satu orang yang bersangkutan adalah Zena. Sementara seperti yang Jihan bilang, ada gosip yang berhubungan dengan seorang cewek. Luna hanya sibuk menebak-nebak siapa yang mereka maksud jika memang benar tujuan pertandingan itu hanya karena cewek.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang