100 - papa

3.6K 514 66
                                    

Masa-masa itu, tujuh tahun yang lalu.

Masa-masa di mana Zena kembali meyakinkan Lusi bahwa dia mencintai perempuan itu. Mereka kembali berada di sekolah yang berbeda. Zena telah lama kembali ke SMA Phoenix dan Lusi kembali ke sekolahnya yang lama, tempat berbagai kenangan terukir, SMA Adi Bakti.

Zena telah yakin bahwa perasaannya kepada Lusi jauh lebih besar. Namun, Lusi terlanjur kecewa. Zena bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Sere. Juga berbohong kepada Lusi bahwa laki-laki itu sedang pergi bersama teman-temannya, padahal ada Serena di sana.

Ketika Zena justru merasa sakit saat Lusi menjauh darinya, dia meminta kesempatan.

Lusi memberikannya kesempatan itu dan Zena kembali memperjuangkan Lusi.

Dia pikir, akan sangat mudah menarik Lusi kembali ke pelukannya. Ternyata tak semudah yang dia pikir. Lusi sangat sulit dia raih. Lusi sangat hati-hati untuk menerimanya kembali.

Zena menunggu Lusi di depan SMA Adi Bakti. Perempuan itu muncul tak lama setelah bel pulang berbunyi. Seperti biasa, Lusi hanya memandangnya tanpa senyuman. Dan seperti biasa juga, Zena akan menarik tangan itu menggenggamnya erat-erat, lalu membawanya ke mobil.

Zena mungkin menerima balasan atas apa yang dia lakukan kepada Lusi. Dia yang kini uring-uringan memperjuangkan Lusi kembali.

Sampai kemudian, Lusi telah mempercayainya sepenuhnya.

Mereka kembali berada dalam hubungan yang seharusnya memang tak pernah kandas. Zena banyak memperbaiki diri untuk memantaskan dirinya berada di sisi Lusi.

Perasaannya kepada Lusi sudah tak bisa lagi dijelaskannya dengan kata-kata.

Zena sangat mencintai Lusi.

Suatu malam di depan rumah Lusi, Zena memeluk perempuan itu erat-erat. "Please, jangan seperti ini lagi. Lo terlalu cuek. Apa semua itu belum cukup untuk balas dendam ke gue? Jangan pernah mikir buat ngelupain gue. Gue mohon."

Beberapa tahun setelah hubungan mereka membaik, Zena mencita-citakan sesuatu.

"Gue pengin nikah di umur 24 tahun. Dan lo yang harus jadi pengantin gue, Lusiana Elmira."

***

Zena membuka mata.

Mimpi itu membuat perasaannya campur aduk.

Ada perasaan sesak, sakit hati, juga bahagia. Dipejamkannya matanya sambil meremas rambut.

Meski wajah Lusi masih samar di mimpi itu, tetapi sekarang saat Zena telah sadar dari mimpinya dia jadi ingat dengan jelas berbagai ekspresi wajah Lusi setiap kali menatapnya.

Wajah sedih itu membuat Zena ikut merasa sesak. Tawa Lusi membuat hati Zena menghangat. Senyuman khasnya membuat Zena sangat ingin memeluk Lusi-nya sekarang juga.

Zena membuka mata, lalu memandang ke samping. Perempuan yang dicarinya tidak ada di sana. Dia keluar dari kamar dengan perasaan khawatir. Suara berisik dari depan membuat kekhawatirannya semakin besar.

Kekhawatirannya beralasan.

Langkah Zena memelan. Lututnya lemas. Di jarak sepuluh meter yang memisahkan, Lusi berdiri sambil menangis tanpa suara. Sebuah pistol mengarah tepat ke pelipisnya dan menyentuhnya. Di belakangnya ada Bryan yang menahan leher Lusi agar tak bisa bergerak.

"Lepasin Lusi atau...." Zena tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ancamannya jelas tak akan membuat Bryan takut, justru dia yang takut.

"Atau? Atau apa?" tanya Bryan.

Lusi mulai menangis pilu. Wajahnya sudah sangat basah entah sejak kapan dia menangis.

"Lepasin Lusi, gue mohon...." Suara Zena serak. Tenggorokannya mulai sakit. "Lepasin Lusi dan lo boleh apa-apain gue."

"Nggak bisa gitu." Bryan semakin menekan ujung pistol ke pelipis Lusi hingga perempuan itu menjerit. Zena refleks melangkah. "Kamu maju, saya bakalan nembak dia sekarang juga."

"Gue...." Zena kaku. Dia tak bisa bergerak. Pikirannya kacau beserta bayangan-bayangan masa lalu yang kembali terulang.

Momen seperti ini mengingatkannya kepada sesuatu. Zena takut. Dia kembali menjadi pengecut. Bibirnya tak bisa berkata-kata saat dilihatnya Lusi ditarik paksa mengarah ke bagian dalam vila itu.

Zena berpegangan pada sofa, lalu dia menjatuhkan diri dan terduduk di lantai. Diremasnya rambutnya sambil berteriak sekencang-kencangnya. Zena takut, sedikit saja dia bergerak maka dia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kepada Lusi.

Baru saja dia akan berdiri saat dilihatnya sepasang sepatu berhenti satu meter di depannya.

Zena mendongak dan ujung pistol yang pertama kali dia lihat mengarah tepat ke keningnya. "Ikut gue. Nurut kalau lo nggak mau terjadi sesuatu dengan Lusi."

***

Lusi membuka matanya perlahan.

Sudah berapa lama dia pingsan?

Terakhir kali yang dia ingat adalah saat seorang perempuan membiusnya, lalu perlahan kesadarannya menghilang.

Lusi melihat dirinya sendiri. Kedua kaki dan tangannya terikat. Dia duduk di sebuah kursi dalam ruangan yang gelap. Tak lama setelah itu, ruangan itu diterangi oleh cahaya yang berasal dari beberapa layar di depannya. Lusi sempat memejamkan mata karena silau. Perlahan, layar itu menampilkan seseorang yang disiksa.

Bibirnya bergetar. Air matanya keluar tak tertahankan saat dilihatnya Zena terus dipukuli. Lusi menangis sekencang-kencangnya. Wajah Zena penuh luka. Perutnya diberi pukulan bertubi-tubi hingga mulutnya mengeluarkan darah.

"SIAPA PUN LO DI BALIK INI GUE MOHON BERHENTI!" Lusi berteriak, terisak, bibirnya bergetar beserta seluruh tubuhnya melemas. "Gue mohon jangan sakitin dia gue mohon. Jangan sakitin Zena...."

"Dia akan mati malam nanti." Suara berat seseorang membuat seluruh tubuh Lusi menegang. Lusi masih menunduk saat melihat kursi roda berjalan melewati sisi sampingnya, kemudian berhenti beberapa meter di depannya.

"Lusi, angkat kepalamu. Kamu tidak ingin melihat Papa?"

***


thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang