81 - trauma

3.1K 509 173
                                    

Lusi mematung di ujung lorong saat dilihatnya Sere berdiri di depan lokernya dan sedang memegang sebuah surat persis seperti dua surat yang dia temui berisi kata-kata tidak mengenakkan. Dia tak menyangka bisa melihat secara langsung siapa yang sengaja membuatnya sakit hati lewat kata-kata di surat itu.

Sere memandangnya dari sana. Tidak ada keterkejutan sama sekali tergambar di wajahnya itu. Hanya ada senyum kecil yang membuat Lusi tak habis pikir. Lusi menghampiri Sere dengan perasaan kesal, sedih, marah yang semuanya bercampur aduk.

"Ooops...," kata Sere saat Lusi berhenti tepat di hadapannya. "Yah, ketahuan."

Lusi mengepalkan tangan.

"Tapi, sebenarnya gue sengaja sih. Kalau gue khawatir lo tahu siapa yang ngirim surat ini, gue nggak mungkin terjun langsung buat naruh ini. Lo juga udah tahu, kan, kalau gue yang nyimpen? Sofia bilang lo minta tolong ke Bu Clarissa buat lihat rekaman CCTV."

Lusi melihat dua orang datang ke arahnya dan berdiri di sampingnya. "Mau lo apa lagi?"

"Wah..., lo?" Sere tampak terkejut. Namun, setelah itu dia tersenyum.

"Makin songong, ya?" ujar salah satu dari tiga teman Sere itu.

Lusi terkejut ketika dua teman Sere menariknya paksa. Dia berontak kuat, tetapi bagaimana pun dia tetap tidak berhasil lepas dari cekalan dua siswi yang memaksanya dengan sekuat tenaga.

Satu dari mereka menjaga di depan toilet. Toilet yang seharusnya ramai, tiba-tiba dikosongkan. Sere menyuruh siswi-siswi itu segera keluar dan mereka menurut. Lusi menggeleng tak percaya. Dia diseret masuk ke dalam sana sembari berusaha untuk melarikan diri.

"Lepasin dia," perintah Sere. Lusi langsung didorong hingga hampir menabrak Sere di depannya. "Gimana dengan surat gue? Ya, pasti udah lo baca, kan?"

"Gampang banget ya ngatain orang lain pelacur?" Lusi berusaha untuk tetap tenang. "Emang definisi pelacur menurut lo kayak gimana, sih?"

"Lo yang ngasih tahu Kavin buat nyudutin gue, ya?" teriak Sere. "JAWAB!"

Lusi menggeleng. "Kavin? Gue bahkan nggak tahu dia siapa dan tiba-tiba muncul di depan gue."

"Lo juga nggak usah cari muka di depan Zena! Lo pikir lo itu siapa, hah? Kalian berdua saudaraan sama aja, ya! Lo pikir lo hebat bisa nyuri perhatian Zena?"

Kesabaran Lusi sudah habis. Dia memandang Sere kesal."Bodo amat sama yang lo omongin. Minta maaf sama gue."

Sere dan teman-temannya tertawa.

"Lo bilang apa tadi?" tanya Sere.

"Minta maaf karena lo udah ngatain gue yang enggak-enggak."

Sere menahan tawa.

"Harusnya lo yang minta maaf sama gue! Lo, kan? Lo kan yang kerjasama bareng Kavin buat nyudutin gue di depan Zena! LO, KAN?!"

Lusi bungkam. Tak mampu berkata-kata dan hanya meringis ketika Sere menjambak rambutnya. Dia melihat betapa takutnya Sere saat Kavin muncul di hadapannya dan mengatakan sesuatu hal.

"Nggak denger ya apa yang gue bilang? Jawab, dong! Lo punya telinga buat denger, lo punya mulut buat ngomong, apa susahnya? Bilang iya kalau lo emang kerjasama bareng Kavin!"

"Dan gue punya hak untuk nggak nurutin apa mau lo!" Lusi berhasil melepaskan tangan Sere dari rambutnya.

Sere tersenyum. Terlihat jelas dari matanya bahwa dia sedang menahan geraman. Kepalannya terbentuk. Namun, Lusi tak peduli semua itu. Dia melangkah ke pintu berusaha untuk kabur, tetapi Eliza dan Zoya menariknya hingga terjatuh ke belakang.

Lusi hanya bisa meringis dan berusaha bangkit berdiri.

Sere menggeram kesal. "Pegang dia!" serunya kepada dua orang yang langsung sigap menahan lengan Lusi agar tak ke mana-mana.

Sere menampar pipi kiri Lusi dengan keras, lalu kembali menahan rahang Lusi. Lusi hanya bisa terdiam. "Gue punya banyak cara untuk ngebuat lo menderita. Ngaku dulu sana!"

"Lepas!" Lusi berontak. Namun, selalu gagal karena orang-orang di sampingnya. "Ngapain gue harus ngakuin hal yang nggak gue lakuin?"

"Gue udah muak. Lo belum pernah dipermalukan, ya?" Sere mendengkus. Dia menarik kemeja Lusi, lalu dia mendorong Lusi hingga terjatuh ke lantai lagi. "Buka bajunya."

Lusi terkejut. Dia mundur karena terlalu takut. Tak sempat berdiri, Eliza dan Sofia sudah menahan kedua tangannya ke belakang untuk tak ke mana-mana. Sementara Zoya berusaha membuka kancing kemeja Lusi satu per satu. Lusi berontak kuat.

"Buka semuanya!" seru Eliza. "Pasti bakal lebih heboh banget."

Dia mulai merasa takut. Ketakutan-ketakutan yang datang seolah menciptakan sebuah pemikiran untuk melawan dengan kuat.

Dia tak boleh kalah.

Dia tak boleh menyerah.

Dengan penuh tenaga, Lusi mendorong Zoya sambil menangis. Dilihatnya Sere yang tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Lusi berlari kencang dan mendorong Sere hingga terjatuh. Sere meringis kesakitan dan terlihat marah. Sere bangkit dan mendorong Lusi, memukul, menjambak rambut, menampar, hingga mencakar Lusi dengan membabi buta.

"Lo pikir lo siapa? Berani sama gue lo? Lo itu nggak pantes bareng Zena! Dan ternyata lo cuma anak yang nggak punya orangtua, ya? Bokap lo ke mana? Nyokap lo ke mana? Ngelac*r?"

"BISA DIEM NGGAK, SIH?!" Lusi berhasil mendorong Sere dan balik menyerangnya. Dia menangis. Dia tak memikirkan apa pun selain bagaimana cara membalas dendam. Dia sudah dipenuhi amarah. Kedua tangannya mencekik leher Sere sementara Sere memukul-mukul tangan Lusi yang mencekiknya.

Mereka berkelahi dan tiga teman Sere tak melerai. Satu dari mereka pergi.

Lusi tak peduli sekitarnya.

Dia tak peduli apa pun selain meluapkan kemarahan yang sejak tadi berusaha dia pendam. Dia menangis. Sampai tak sadar orang-orang sudah datang mengerumini luar toilet. Seseorang datang berusaha menarik Lusi menjauh dari atas Sere.

Mata Lusi sudah mengabur karena air mata. Dia tak tahu apa yang terjadi. Sere tersenyum beberapa saat padahal Lusi sedang kalap menyakiti Sere. Sampai seseorang berteriak, "Asma Sere kambuh!"

Saat itulah, Lusi menyadari bahwa orang-orang telah melihatnya seperti seorang pembunuh.

Dan saat matanya mengarah ke luar, dia melihat Zena berdiri menatapnya dengan pandangan tak percaya.

***


thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang