23 - pendekatan

4.6K 718 39
                                    


Setelah beberapa hari terlewati, Lusi kecil masih dirawat di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa hari terlewati, Lusi kecil masih dirawat di rumah sakit. Ada perban melingkari dari jidat sampai ke belakang kepalanya. Dia duduk di taman rumah sakit bersama seorang perawat yang sejak kemarin membawanya jalan-jalan di sekitar sana.

Di atas kursi roda itu Lusi tanpa ekspresi mendengar fabel yang diceritakan oleh perawat. Meski ada beberapa pasien di taman itu, Lusi tetap merasa sendirian.

Dokter mengatakan ada trauma psikis yang dialaminya. Perempuan yang waktu itu menolongnya entah di mana sekarang. Lusi hanya tidak tahu bahwa perempuan yang menolongnya itu sering datang ke rumah sakit. Hanya saja, saat malam di mana Lusi sudah terlelap di tidurnya.

"Si buaya berkata, 'Tolong, lepaskan aku! Aku janji tidak akan memakanmu.'" Perawat itu berhenti. Dia hanya bisa menghela napas, kasihan, melihat tatapan kosong dari Lusi.

"Lusi lapar?" tanyanya, lembut.

Lusi tetap memandang kosong ke depannya.

Perawat itu berdiri di belakang kursi roda kemudian mendorongnya menuju koridor rumah sakit. "Ayo! Waktunya makan siang!"

Lusi tetap tak bergerak. Semuanya terasa sunyi. Harinya di rumah sakit selalu sama. Waktu terus berjalan hingga malam tiba dan pandangannya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya.

Laki-laki berpakaian perawat masuk ke dalam kamarnya membawa peralatan infus. Lusi masih duduk di brangkar memandang ke jendela. Laki-laki itu mengatakan sesuatu yang tak didengar sama sekali oleh Lusi. Sampai akhirnya, ada perkataan yang membuatnya teralihkan.

"Kamu mau ketemu sama Mama kamu?" tanya laki-laki itu.

Lusi langsung melihat ke arah lawan bicaranya. "Mama?"

"Iya, Mama kamu." Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Ayo. Om antar kamu ke Mama. Mau, kan?"

Tanpa banyak berpikir, dengan senang hati Lusi turun dari brangkar. Infusnya dilepaskan oleh laki-laki itu. Sebuah topi dipakaikan dikepalanya. Lusi tak pernah berpikir bahwa orang itu akan membawanya ke orang yang paling dia takuti.

Laki-laki itu berhasil membawanya keluar dari rumah sakit tanpa ada orang lain yang mengetahuinya. Dia memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya entah ke mana.

Saat di perjalanan, lelaki itu menelepon seseorang.

"Halo, Bos?"

Bos? Lusi gemetar. Panggilan itu dia dengar beberapa hari yang lalu. Panggilan dari orang-orang berpakaian serba hitam kepada papanya.

"Iya, bener, Bos. Sebentar lagi tiba. Siap. Berapa? Oke, saya akan membawanya sampai ke tujuan dengan selamat."

Air mata Lusi bercucuran. Seluruh tubuhnya bergetar. Tak lama mobil itu berhenti di depan sebuah ruko.

"Kamu lapar? Tetap di sini, ya. Om beli susu dan roti dulu. Sebentar lagi kamu akan ketemu dengan Mama kamu."

Setelah mengatakan kalimat itu, dia keluar melangkah menuju ruko. Tanpa berpikir bahwa Lusi bisa kabur kapan saja. Lusi sudah lemas. Dia mencoba membuka pintu dan tidak terkunci. Kesempatan itu dia tak akan dia sia-siakan.

Dia keluar dari sana. Berlari kencang. Tak tentu arah.

***

Mobil hitam memasuki sebuah rumah bertingkat tiga dan berhenti di halamannya yang luas. Perasaan Lusi campur aduk ketika seseorang membuka lakban di mulutnya dan membuka ikatan tangan di belakangnya.

Orang-orang asing itu keluar dari mobil. Satu orang menuntunnya turun dengan sedikit paksaan karena Lusi mencoba untuk lari. Hanya ada dua pria yang mengikutinya di sisi kanan dan kiri. Pasrah. Lusi makin tak bisa bersuara. Dia membiarkan dirinya ikut menuju pintu utama rumah itu karena tenaganya terkuras akibat terus meronta di sepanjang perjalanan.

Dia tiba di ruang tamu yang luas. Kakinya terasa lemas. Berbagai spekulasi muncul di benaknya. Pemikiran-pemikiran tentang sesuatu hal yang buruk akan terjadi terus mengganggunya.

"Lepas!" ucap Lusi pelan dan penuh penekanan. "Lepasin!"

Namun, orang yang sejak tadi menahannya tetap tidak melaksanakan perintah itu.

"Saya bilang lepas!" teriak Lusi, frustrasi.

"Lepasin dia."

Seruan dari seseorang membuat Lusi terdiam mematung. Lusi menoleh, menatap ke orang yang baru saja bersuara. Dia langsung mundur. Matanya memanas saat melihat orang itu dengan entengnya berdiri tanpa merasa bersalah.

"Udah. Sampai sini aja," katanya lagi pada orang-orang suruhannya. "Kalian nggak nyakitin dia, kan?"

"Nggak kok, Bos." Salah satu suruhannya berdeham. Lusi mengepalkan tangannya makin marah. "Cuma, ngiket tangan dan lakban mulutnya."

"Itu namanya nyakitin."

"Kata Bos nggak boleh bius. Kami takut orang-orang akan dengar, nanti kami digebukin karena mereka berpikir kami benar-benar menyulik."

"Ya udah. Sana balik."

Lusi merasakan tak ada lagi yang menahannya di sini. Namun, yang terjadi selanjutnya dia semakin tak bisa bergerak. Tak bisa berkata-kata. Pandangannya hanya terfokus ke satu titik, di mana seseorang yang tadi memerintahkan orang-orang itu untuk melepaskannya.

Lusi tak percaya. Seseorang yang dia tahu menolongnya malam itu justru melakukan hal yang membuatnya hampir mati jantungan.

Dewangga. Cowok itu berdiri santai menatapnya dengan seringaian. Seolah puas dengan apa yang dilihatnya sekarang di depan mata.

"Maksud lo apa?!" teriak Lusi, marah. "Lo tahu gue takut diculik dan lo justru sengaja nyuruh orang-orang buat ngelakuin itu ke gue?"

Zena bersandar di dinding, melipat kedua tangannya di dada. "Gue memang sengaja," balasnya.

Kepalan tangan Lusi makin kuat. Kesal. Dia berbalik dan memejamkan mata sesaat setelah melangkah. Dia sudah tak tahan lagi melihat kelakuan Zena yang makin keterlaluan.

Saat hendak keluar dari pintu, Zena menarik tangannya dan membuatnya masuk kembali ke rumah itu.

"Gue mau pulang!" teriak Lusi. Dia benci saat orang-orang mengerjainya dengan ketakutan terbesarnya. "Nggak lucu! Lepasin gue!"

Zena tak menggubris.

"Gue bilang lepas, lo denger nggak, sih?" teriak Lusi lagi sambil terisak.

Dia menarik kencang tangannya hingga terlepas dari genggaman Zena dan langsung berbalik dengan cepat menuju pintu. Namun, pintu itu langsung terutup. Membuat Lusi hanya bisa menatap Zena dengan geram.

"Kenapa, sih?" Lusi menatap Zena lelah.

Zena menarik Lusi masuk ke dalam ruangan lain. Lusi berusaha menjauh, tetapi selalu gagal. Saat tiba di ruangan tengah, Zena mendudukkannya di kursi sementara cowok itu duduk di kursi yang berseberangan.

"Lo jangan pulang sekarang. Ada hal penting yang pengin gue bicarakan," kata Zena.

Lusi hanya bisa terdiam.

"Dan satu hal lagi, lo nggak boleh pulang sendiri. Gue yang anter lo pulang. Harus."

***


thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang