56 - belum menyerah

2.8K 442 27
                                    

"Valdo dan Shaq ke mana?" Farzan celingukan.

"Valdo nggak nafsu makan lihat yang di plastik itu." Parvis menunjuk sesuatu di tangan Zena. "Dan Shaq, entahlah, belakangan ini dia kelihatan nggak mau ikut campur kalau soal ngerjain Luna."

"Waduh?" Farzan tertawa. "Jangan-jangan, Shaq suka sama Luna?"

"Ya elah. Pemikiran lo sempit amat. Kasihan dan iba dikit, langsung disangkutpautin ke 'suka'." Parvis menatap sesuatu di plastik itu dengan tatapan jijik. "Shaq walaupun kapten basket gitu, banyak yang naksir, dia kan nggak berani ngapa-ngapain cewek. Cium cewek aja nggak pernah."

Zena hanya mendengarkan percakapan dua sahabatnya itu dengan alis bertaut.

"Lo nggak bakalan ngebuat dia mati di tempat, kan, ngelihat ginian?" Farzan memandang ngeri pada plastik bening yang diikat rapat dan memiliki ruang banyak hingga sesuatu yang putih kekuningan bisa melompat dan menggeliat di dalam sana.

Zena mengangkat plastik itu di depan wajahnya dengan senyum miring. Dia menjauhkannya dan tak sengaja tangannya terarah ke Farzan.

"Demi apa pun jauhin itu dari gue!" Farzan berteriak nyaring, lalu menjaga jarak sejauh mungkin. Teriakannya mengundang perhatian murid di kantin itu.

"Cemen." Parvis mendengkus. Dia mendekat ke arah Zena dan mengambil plastik bening itu dari tangan Zena. "Biar gue aja yang lakuin?"

"Ya, terserah lo sih. Lebih seru lagi kalau gue cuma nonton." Zena tersenyum saat melihat Luna datang bersama seorang temannya. Zena memicingkan mata melihat cewek berkacamata yang ada di samping Luna. "Sebelum lo jalanin rencana, singkirin dulu tuh cewek satunya. Nanti nggak seru."

"Ah, gampang! Itu bagian Farzan." Parvis menyahut dengan girang.

"Kok gue?!" teriak Farzan lagi.

"Kan, ini cuma buat ngerjain Luna. Bukan cewek yang satu itu." Parvis memasukkan plastik itu ke saku baju untuk menyembunyikannya dari tatapan siswa lain, kemudian mereka berjalan ke arah Luna dan Jihan yang sudah mengambil makanan dan bersiap untuk makan.

Hari ini, Zena tidak menyuruh Luna mendatanginya. Dia membiarkan cewek itu bebas—sebentar saja—dan Zena akan menonton dari ujung kantin. Dia memperhatikan Luna yang tempatnya ada di tengah-tengah. Posisi yang pas untuk bisa melihat Luna dengan leluasa dan untuk melihat tontonan menarik apa yang selanjutnya akan terjadi.

Parvis berjalan dengan pasti menuju Luna dan Jihan yang baru saja duduk dan siap melahap makanan. Ketika tatapan mata Luna mengarah ke Parvis, sendok di tangannya yang mengarah ke mulut langsung berhenti. Perasaannya menjadi tidak enak karena melihat dua dari sahabat Zena yang datang.

Luna bungkam. Pun dengan Jihan yang tiba-tiba merasa atmosfer jadi buruk. Luna semakin dibuat takut ketika Farzan mendatangi Jihan dan menarik tangannya untuk berdiri.

"Ikut gue!" seru Farzan dan Jihan langsung mendorong cowok itu menjauh. "Heh! Lo dipanggil sama Pak Lando."

"Pak Lando?" Jihan mengernyitkan dahinya.

"Iya! Lo remedial Matematika!" Farzan berteriak lagi. Membuat semua mata memandang ke arah cowok yang sejak tadi berteriak tidak jelas.

"Gue kelas XI dan Pak Lando bukan guru Matematika kelas XI, Pak Lando ngajar di kelas XII," kata Jihan yang membuat Farzan merasa menjadi orang paling idiot di dunia ini.

Zena mengerutkan kening melihat kehebohan yang dibuat oleh sahabatnya yang satu itu.

"Gimana sih lo? Ngurusin satu orang aja begonya nggak dibuat-buat." Parvis mengomel dan mengayunkan tangannya dengan gerakan mengusir. "Minggir." Pandangannya mengarah ke Luna lagi. "Lo dipanggil sama Zena. Ada yang mau Zena omongin. Tuh, di sana."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang