90 - teror

3.2K 504 59
                                    

by northaonie

part of zhkansas

...

90. TEROR

"Zena siapa?"

Suaranya bahkan mirip dengan Zena.

"Zena...." Tubuh Lusi masih gemetaran saat terus menyebut nama seseorang yang dia pikir adalah Zena. "Itu lo, kan? Gue nggak lagi mimpi, kan?"

Laki-laki itu menunduk, tertawa paksa, lalu kembali menatap Lusi dengan rahang mengeras. "Lo ngebuat gue muak tahu nggak? Zena siapa? Jangan ngebuat pekerjaan gue jadi ribet."

Lusi terisak. "Lo Zena!"

"Berhenti manggil gue Zena. Lo salah orang, sialan!" Laki-laki itu berdiri dan meremas rambutnya. "Si berengsek itu nggak nyuruh gue nyulik orang nggak waras, kan?" gumamnya, lalu menghela napas panjang.

Lusi mematung.

"Bener-bener buang waktu aja," kata laki-laki itu dan kembali duduk di sofa.

Sementara Lusi masih mencerna semua yang terjadi. Mengapa dia bisa di sini dan mengapa ada laki-laki mirip Zena di hadapannya sekarang. Ini jelas bukan mimpi. Semua terasa nyata, tetapi laki-laki itu siapa?

Lusi yakin seratus persen bahwa dia adalah Zena.

Pandangan Lusi mengabur saat melihat bagaimana penampilan laki-laki yang dia pikir Zena itu. Preman. Celana denim yang sobek-sobek, rambut berantakannya sudah sampai menutupi alis, dan tatapan sengak itu membuat Lusi sangat rindu.

Rasanya sakit melihat laki-laki itu sedang menikmati minuman kerasnya. Ada beberapa botol di meja itu yang telah habis. Zena sudah tak pernah minum lagi. Setelah meneguk minuman beberapa kali, laki-laki itu lalu mengambil sebatang rokok dan menikmatinya.

Lo nggak ngerokok. Lo nggak minum. Lo bilang lo mau hidup sehat, batin Lusi sambil menangis.

"Lo Zena, kan?" tanya Lusi dengan suara yang bergetar sambil menatap laki-laki yang tingkahnya sangat mirip dengan Zena yang lama. "Lo ... pasti Zena, kan."

"DIEM BISA NGGAK, SIH? ARGH. SIALAN!" teriak laki-laki itu. "Bikin makin pusing aja."

Lusi menunduk dan tertawa sambil menangis. "Iya, sekarang mana mungkin orang yang udah meninggal hidup lagi."

Laki-laki itu menatap Lusi dengan tatapan datar. "Lo cantik dari yang di foto. Awalnya gue nggak kepikiran buat ngapa-ngapain lo, tapi karena dikontrak itu nyuruh gue buat nggak ngapa-ngapain lo gue malah jadi kepikiran."

Lusi mengangkat wajahnya terkejut. "Kontrak?" gumamnya.

"Jadi, diem. Nggak usah banyak tingkah. Gue bakalan beneran ngapa-ngapain lo kalau lo berisik," ancamnya. Laki-laki itu mengambil ponselnya yang berdering. Sambil menatap Lusi dia bicara. "Kenapa? Iya, dia udah bangun."

Lusi terus memperhatikan laki-laki itu dibanding berusaha mendengar apa yang laki-laki itu bicarakan. Laki-laki itu lalu berjongkok di hadapannya. Kedua tangannya melingkar ke belakang Lusi dan membuka ikatannya yang sangat erat. Wajah mereka sangat dekat. lusi memperhatikan setiap inci wajah itu.

Dahi laki-laki itu tertutup rambut bahkan alisnya pun tertutup rambut. Lusi terus memandang dari jarak sedekat ini. Setelah ikatan itu terlepas, laki-laki itu masih di hadapannya. Tangan Lusi yang sudah bebas dengan berani menyibak rambut laki-laki itu di dahi.

Laki-laki itu langsung menahan pergelangan tangan Lusi dan menjauhkannya dari area itu.

"Ngapain lo?" tanya laki-laki itu dengan tatapan tajam.

Lusi mengunci bibir. Dia melihat dengan jelas. Rambut yang menutupi dahi itu ternyata menyembunyikan sebuah luka memanjang dari dahi sampai alis dan merontokkan sebagian alisnya. Itu terlihat seperti bekas jahitan.

Sekarang Lusi semakin tak mengerti semua ini. Sejak tadi dia berusaha tenang.

"Tadi lo mikir gue siapa? Zena?" Laki-laki itu mendengkus. "Gue paling benci dipanggil dengan nama orang lain."

"Terus lo siapa?" gumam Lusi.

"Emang itu penting sekarang?"

Laki-laki itu berdiri, lalu menarik tangan Lusi dan memaksanya ikut. Lusi berjalan tertatih. Dia hanya bisa memandang laki-laki itu dalam diam. Laki-laki itu mendorongnya ke sebuah kamar dan menguncinya dari luar.

Lusi berdiri mematung di kamar itu sendirian. Baru saja dirinya dikunci oleh laki-laki itu dan sekarang dia sendirian di kamar yang lumayan luas ini. Dia tak mengerti apa yang saat ini terjadi. Dia menatap sekeliling kamar itu untuk mencari sebuah petunjuk dan berakhir sia-sia karena memang tak ada apa-apa di sana selain peralatan.

Entah di mana laki-laki itu menyimpan tasnya. Lusi berjalan ke lemari pakaian dan terkejut melihat lemari itu penuh dengan pakaian. Setelah dia mengeceknya ternyata semua pakaian di lemari itu adalah pakaian perempuan.

Ini aneh dan Lusi semakin tidak mengerti. Kenapa dia diculik? Apa yang sebenarnya terjadi?

Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, sebuah telepon rumah berdering. Dia mencari keberadaan telepon itu yang tak ditemukannya tadi. Ternyata tersembunyi di meja paling sudut dan pandangannya terhalang oleh lemari.

Lusi bergegas menerima panggilan itu.

"Masih ingat saya?" Pertanyaan itu menyambutnya.

"Si ... siapa?" Bibir Lusi bergetar. Ini semakin membuatnya takut.

"Sesuai perintah, ini pertanyaan yang harus saya tanyakan." Laki-laki di seberang sana menggantung kalimatnya. Suaranya tak mirip dengan laki-laki yang mirip Zena. Jadi, bukan laki-laki tadi, tetapi siapa? "Apa kamu penasaran kenapa Zena tiba-tiba muncul?"

Panggilan langsung diakhiri.

"Ha ... halo! HALO!"

***

Untuk pertama kalinya Tobias mendapatkan pekerjaan yang berat sekaligus membuat beban di pikirannya. Dia menculik seorang perempuan tanpa tahu tujuan Bryan, kemudian di hadapkan oleh kata-kata Lusi yang membuatnya semakin pusing.

"Ah. Kerjaan macam apaan ini?" omelnya, lalu keluar dari vila itu menuju mobil. Dia terdiam di balik kemudi. Ada sesuatu yang berusaha dia ingat. Bayangan samar yang masih tak jelas bentuknya. Semakin dia berusaha mengingat, semakin kepalanya terasa pusing.

Apa ini ada hubungannya dengan dia yang lupa ingatan?

Tobias mengernyit. Ada sesuatu yang berusaha muncul di ingatannya, tetapi dia tak ingat apa pun selain hanya sekadar perasaan pernah melihat Lusi seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Perasaan yang tak asing.

Tidak mungkin kan perempuan bernama Lusiana pernah muncul di masa lalunya? Lusi menyebut nama Zena. Siapa pula itu?

Tobias membuka topinya dan memandang cermin dalam mobil. Rambutnya berantakan sehingga rambut yang sengaja menutupi dahi itu memperlihatkan luka bekas kecelakaan dua tahun yang lalu sebelum dia terbangun dari koma, seperti yang diceritakan oleh kedua orangtuanya saat itu.

***


 

DELUSIHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin