30 - liontin l

4.4K 667 59
                                    

Zena membawa Lusi ke rumah makan yang tak jauh dari SMA Adi Bakti. Setelah keluar dari kantin tadi, dia membawa Lusi ke parkiran dan membuat Lusi ingin kembali ke sekolah karena waktu pulang belum tiba.

Cewek itu terlalu keras kepala. Butuh waktu lama bagi Zena untuk menarik Lusi kembali ke dekatnya dan menaikkan cewek itu ke atas motornya hingga membuat Lusi hanya bisa memukul bahu cowok itu. Tidak marah. Zena hanya terkekeh meski dia merasa pukulan itu lumayan sakit.

Zena berhasil melewati satpam Adi Bakti karena lelaki paruh baya yang biasa dipanggil dengan sebutan Pakde oleh siswa-siswi Adi Bakti itu tengah tertidur di post satpam. Di sepanjang perjalanan Lusi terus-terusan berkata penuh penyesalan karena merasa seharusnya mereka tetap di kantin saja. Akan tetapi, kata-kata Lusi yang disertai omelan kepada Zena itu hanya membuat Zena tersenyum di balik helmnya.

Sekarang mereka makan. Sementara di sekitarnya hanya ada beberapa yang mengisi meja karena masih jam kantor. Mereka makan di meja sudut. Zena memperhatikan Lusi yang diam sejak tadi. Mungkin, Lusi adalah salah satu orang yang tak akan bicara disaat makan.

"Enak?" tanya Zena tiba-tiba,.

Lusi yang baru akan menyendokkan kembali makanannya ke mulut jadi urung. Cewek itu mengangguk. "Enak," katanya lalu melanjutkan makannya.

Lusi kembali sibuk makan seolah cewek itu tidak sedang makan berdua dengan orang lain. Zena memperhatikan Lusi dengan saksama. Alisnya naik ketika melihat sebuah kalung yang dipakai oleh Lusi. Zena baru menyadari itu.

"Lo pakai kalung juga, ya? Perasaan dulu lo nggak pakai apa-apa di leher," kata Zena.

Lusi berhenti mengunyah makanannya dan menatap Zena curiga. "Lo merhatiin leher gue segitunya...?"

Zena tertawa. "Iya," jawabnya jujur. "Nggak sengaja, kok. Bukan sengaja."

Lusi menatapnya tajam.

"Gue serius nggak sengaja," ucap Zena lagi sembari menerbitkan senyumnya. "Gue juga serius nanya tentang kalung itu, dari siapa?" tanya Zena penasaran.

"Dari temen....," balas Lusi pelan. Dia kembali menyendokkan makanannya ke mulut.

"Gayatri? Hera?"

"Kepo."

Zena menaikkan alis. Sepertinya Lusi tidak ingin menjawab. Kata terakhir yang keluar dari mulut Lusi pun diucapkan Lusi tanpa menatap Zena. Apa benar kalung itu dari salah satu teman Lusi? Atau Lusi malah mendapatkan kalung itu dari cowok lain?

Lusi terlalu sulit dia mengerti.

Zena mencoba untuk bertanya lagi, meski belum tentu Lusi akan menjawab pertanyaannya. "Tentang orang-orang yang ngejar lo malam itu dan dua orang yang ada di mobil jeep." Zena memandang Lusi yang tiba-tiba berhenti mengaduk kuah. Lusi hanya menatapnya sekilas kemudian menunduk kembali. "Apa lo ingat permintaan gue dulu?"

Lusi menatap Zena bingung. "Pertanyaan apa?"

"Suatu saat apa gue boleh bertanya hal yang sama, tentang orang-orang yang ngejar lo malam itu." Jawaban Zena membuat Lusi merapatkan bibir. "Sekarang gue mau tanya lagi, apa orang-orang yang ngejar lo malam itu ada hubungannya dengan dua orang yang hampir selalu ada di depan sekolah?"

Lusi mengerjap. Dia menurunkan sendoknya, membaliknya hingga bagian yang cembung di atas. "Gue udah kenyang. Bisa kita balik ke sekolah sekarang?"

Zena diam memandang Lusi. Dia merasa bersalah telah bertanya hal yang mungkin bagi Lusi itu tidak menyenangkan. Zena hanya penasaran. Lebih tepatnya, mungkin dirinya khawatir. Orang-orang itu terlalu banyak dan terlihat ingin melukai Lusi.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang