04 - pertengkaran kecil

8.8K 1K 23
                                    

Bukannya ke kelas saat bel berbunyi, Lusi memilih untuk mendiamkan diri di perpustakaan sekolah. Hanya ada hening di dalam sana. Pegawai perpustakaan belum datang sementara pintu perpustakaan sudah terbuka lebar.

Lusi duduk di bangku sudut perpustakaan sambil menatap kosong ke arah tumpukan buku yang ada di pangkuannya. Ucapan Zena mengganggunya sejak tadi. Setelah lama tidak mendengar ejekan itu, dia kembali mendengar ejekan tentang rambutnya. Si cewek pirang. Atau yang lebih parahnya lagi seperti apa yang Zena ucapkan tadi. Lusi tak masalah jika pada kenyataannya apa yang Zena ucapkan itu memang benar. Ejekan itu akan Lusi terima dan dia tak akan semarah ini. Akan tetapi, pada kenyataannya rambutnya itu turun dari gen orang yang paling dia benci di dunia ini.

Seseorang yang entah di mana keberadaannya sekarang.

Lusi tak peduli orang itu ada di mana. Lusi justru berharap jarak orang itu dengannya dipisahkan ribuan kilometer agar mereka tak akan dipertemukan lagi.

Setelah beberapa tahun berusaha melupakan masa lalunya, Zena justru mengingatkannya kembali kepada orang yang tidak ingin dia temui. Bukan hanya mengenai ucapan Zena, tetapi juga keegoisan Zena dan caranya menindas dan tak berperasaan mengingatkan Lusi kepada orang itu.

Entah sudah berapa lama Lusi duduk diam di perpustakaan ini. Air matanya juga tak bisa dia tahan meski tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia hanya diam dengan tatapan kosong juga pikiran yang penuh akan Zena.

***

SMA Adi Bakti dikenal sebagai sekolah pembuangan. Begitu kata masayarakat sekitar sekolah itu. Lebih sering diberi julukan sebagai sekolah yang siswa-siswinya berangkat jam 9 pulang jam 10. Siswa-siswi yang bersekolah di sana bermacam-macam. Ada yang karena tidak naik kelas di sekolah mereka sebelumnya. Ada yang karena di drop out dari sekolah sebelumnya. Ada juga dalam penerimaan siswa-siswi baru di sekolah lain tidak diterima.

Namun bagi Lusi, tak ada yang namanya sekolah pembuangan. Adi Bakti menjadi seperti ini karena kurangnya guru-guru tetap. Hanya ada beberapa guru honorer di sana. Lusi sekolah di sana selain karena biayanya murah, juga karena sekolah itu yang paling bisa membuatnya jalan kaki tanpa harus memikirkan biaya ongkos karena tak jauh dari tempatnya tinggal.

Rata-rata siswa tak berpakaian rapi bahkan di antara mereka ada yang hanya menggunakan kaos biasa dan celana abu-abu. Rok para siswi rata-rata di atas paha dengan seragam serba kekecilan dan pendek. Rambut para siswi banyak yang mereka cat, sehingga Lusi terlihat seperti bagian dari mereka. Tak ada seragam khas SMA Adi Bakti karena seragam yang mereka gunakan di sana hanyalah seragam putih abu-abu seperti SMA Negeri.

Semenjak Zena bersekolah di sekolah ini, suasana kantin yang dulunya tak begitu ramai oleh murid kini berubah. Kedatangannya di sekolah ini sebagai anak baru semenjak kejadian di mana dia memberi pelajaran kepada Juna membuatnya menjadi pusat perhatian. Juna yang dulunya menjadi siswa paling tidak mau dikalah dan mengalah kini tak lagi menjadi si penguasa sekolah semenjak Zena menghajarnya waktu itu di belakang sekolah.

Karena Zena juga, Lusi merasa ketentramannya menjadi menghilang. Lusi yang biasanya cukup tak masalah dengan sedikit keributan di kantin oleh teman-temannya yang tak seberapa di kantin itu dibanding kantin sekolah lain, kini membuatnya tak nyaman. Cewek itu duduk di sudut kantin bersama Gayatri dan Hera yang asyik bercerita. Dia hanya diam bersama buku dan pulpennya.

"Semalam kan Kak Gabrian nelepon gue, terus dia bilang Kak Zena itu sebenarnya baik," kata Gayatri. "Orang yang deket sama dia aja yang bakalan ngerti dia."

Baik apanya?! Lusi diam-diam mendengarkan sambil berdecak meski tangannya masih sibuk mencatat di buku.

"Masa, sih?" tanya Hera bingung. "Kok gue nggak percaya, ya."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang