24 - dewangga bayurama

4.9K 712 27
                                    

"Dan satu hal lagi, lo nggak boleh pulang sendiri. Gue yang anter lo pulang. Harus."

Lusi mengembungkan pipinya. "Kenapa lo suka maksa?"

"Karena gue nggak suka ditolak."

Lusi menghela napas. Dia dan Zena saling tatap dan seringaian yang dilakukan Zena sekarang membuatnya hanya bisa menatap Zena dengan pandangan tak suka.

Zena berdiri. Lusi mulai waswas karena Zena berjalan ke arahnya. Saat cowok itu duduk tepat di sampingnya, Lusi sedikit menjauh untuk menghindar dari apa pun yang akan Zena lakukan selanjutnya. Namun, usahanya itu tak begitu membuahkan hasil karena beberapa saat setelah Zena duduk di sampingnya, Lusi bisa merasakan rambut pirangnya diacak-acak dengan ganasnya oleh cowok menyebalkan itu.

"Ish." Lusi sontak menepis tangan Zena dari rambutnya. "Apaan, sih?"

Zena terkekeh. "Pengin mastiin, apa rambut pirang lo warnanya bakalan pindah ke tangan gue." Zena menatap tangannya, pura-pura berpikir. "Ternyata nggak. Ya udah. Asli. Bukan cabe."

"Memangnya cewek yang rambutnya dicat itu cabe?" Lusi merasa tersinggung karena dia juga cewek.

Zena menggeleng. "Enggak semua, tapi cewek yang rambutnya dicat padahal sudah jelas-jelas di sekolah nggak dibolehin, itu namanya cabe."

"Dapat pernyataan dari mana?" Lusi masih tak terima. Rautnya berubah saat mengingat sesuatu. "Hal penting apa yang mau lo bicarakan? Gue harus pulang cepet. Nenek gue nyariin."

Zena mengangguk-angguk kemudian berdiri. Meski masih kesal, Lusi tetap menunggu karena bagaimana pun dia berontak atau ingin lari, semua itu juga akan berakhir sia-sia.

Lusi menggerak-gerakkan kakinya. Sudah setengah jam ini dia berada di rumah Zena. Sambil menunggu cowok itu datang, dia menatap sekeliling rumah itu. Dia memberanikan diri untuk berdiri ketika melihat sebuah lemari tempat penyimpanan berbagai foto yang berbingkai.

Ada lelaki dewasa yang menggendong anak laki-laki berumur 3 tahunan dan seorang bayi di gendongan seorang wanita. Awalnya Lusi pikir anak laki-laki itu adalah Zena, tetapi setelah melihat foto-foto lainnya Lusi menebak bahwa bayi itu adalah Zena.

Lusi berpindah pada foto lain dan terpaku pada satu foto cowok yang mengenakan pakaian wisuda SMA. Di sisi kanan dan kiri cowok itu ada sepasang suami istri di foto tadi. Di kiri dan kanan foto wisuda SMA itu, terdapat penghargaan dari SMA Phoenix yang diberikan kepada Dewangga Bayurama.

"Kakaknya Zena?" gumam Lusi. "Dewangga juga. Pantesan kata Gayatri Zena nggak pengin dipanggil Dewangga." Dia mulai bermonolog. "Soalnya namanya dan kakaknya sama-sama Dewangga. Kalau Zena dipanggil Zena, berarti kakaknya dipanggil Rama, dong? Oh, begitu...."

Dia langsung tertawa melihat foto lain di mana Zena masih kecil. Di foto tersebut Zena—yang hanya mengenakan celana dalam—mengarahkan sebuah pistol air ke kakak laki-lakinya yang terlihat tak berekspresi. Zena terlihat habis menangis.

Dia terus memperhatikan semua foto itu sampai tak sadar dia terlalu asyik. Kini dia ingin memperhatikan dengan jelas wajah orangtua Zena dari muda sampai sekarang. Ada sebuah foto saat bundanya Zena meresmikan restoran.

Lusi memperhatikan bundanya Zena. Dia hanya terus memperhatikan. Akan tetapi, dia bingung kenapa dia diam. Yang dilakukannya hanya terus memperhatikan foto bundanya Zena tanpa memikirkan apa pun di kepalanya. Pandangannya semakin tak fokus dan hanya ada kekosongan.

Lusi menggeleng. Dia beralih memandangi foto kedua orangtua Zena. Ada kebahagiaan yang terpancar lewat senyuman mereka, membuat Lusi tanpa sadar ikut mengembangkan senyumnya.

Dalam hidupnya, Lusi tak pernah sekalipun melihat kedua orangtuanya seperti itu. Bahkan foto sekalipun. Yang ada hanya kejadian kelam masa lalu yang tak pernah dia harap terjadi.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang