26 - menjaga lusi

5.2K 675 14
                                    

Di atas kursi itu, Lusi bersila. Tangannya bertopang pada dagu sambil memandangi kumpulan surat yang berserakan di atas mejanya. Sudah beberapa jam dia duduk di sana hanya untuk membaca ulang surat-surat itu, dari surat pertama hingga surat dari L yang terakhir dia terima.

Namun, tak ada satu pun petunjuk yang bisa membawa Lusi kepada L.

Lusi memejamkan matanya. Ponselnya berdering dan segera dia angkat dengan tak bersemangat.

"Hai! Ngapain lo?"

"Lagi duduk aja." Lusi menarik satu kertas di ujung meja. Dia tersenyum kecut. Surat perjanjian antara dirinya dan Zena sore tadi. "Kenapa lo nelepon?"

"Gue minta tolong jangan lupa bawa LKS Bahasa Inggris besok, ya! Kalau nggak, gue yang kena batunya nanti sama Pak Rizal."

"Siap-siap."

"Lo kenapa kayak nggak bersemangat gitu?"

Lusi mengerjap. Dia tidak mungkin membahas L. Dia pikir, jika harus menceritakan perihal ini ke Hera, maka dia harus cerita panjang lebar lagi. Selama ini, Hera dan Gayatri tak pernah bertanya macam-macam mengenai keluarga Lusi. Seolah-olah mereka paham bahwa Lusi hanya punya seorang Nenek dan yang mereka tahu, kedua orangtua Lusi sudah meninggal.

Lusi masih memandang dengan tak bersemangat kertas perjanjian itu.

"Dia...." Ada jeda lama saat Lusi ingin mengatakan perasaannya tentang Zena. "Nyebelin! Kalau lo tanya siapa cowok ternyebelin yang pernah muncul di hidup gue, jawabannya Zena!"

Hera hanya terkekeh di seberang sana, membuat Lusi bersungut sebal. "Kenapa ketawa? Mau kayak Gayatri juga?" Dia berpindah ke kasur, menghempaskan tubuhnya dengan telungkup di sana.

"Habis lucu aja. Kalau Zena nyebelin ya nggak usah diladenin juga."

"Tapi dia suka maksa." Lusi memutar tubuhnya, menatap langit kamar.

"Emang dia ngapain lo lagi, sih?" tanya Hera. "Gue bersiap mendengarkan cerita dari lo—"

"Yang nggak berujung itu," potong Lusi cepat. "Jangan heran kalau suatu saat lo ngelihat gue kadang bareng-bareng Zena."

"Lho?"

"Gue jadi guru les privat dia sementara gue aja belum belajar materi kelas XI. Gila, kan?" Lusi memukul kasurnya. "Gue sebel banget! Di sisi lain dia nawarin sesuatu yang gue nggak sanggup lakuin."

"Apaan?"

"Perawat untuk Nenek gue. 24 jam ngerawat non stop. Gimana gue nggak tertarik?"

"Ya udah. Lo juga kan yang mau? Ngapain sebel?"

Lusi memutar bola matanya. Mereka berbicara hingga tak terasa hampir tengah malam. Sampai keduanya memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Lusi kembali ke kursi memandang surat-surat yang berserakan. Dia memasukan ke dalam kotak. Saat baru akan memasukkan kotak surat ke dalam lemari, terlihat ada surat yang terselip di dekat buku-buku yang bertumpuk.

Lusi kembali duduk di kursi dan memandang bolak-balik surat itu. Di sudut atas terdapat tanggal pengiriman. Surat itu satu-satunya yang belum dia baca ulang.

Haii.

Aku baru saja mengirimkan kamu surat sehari sebelumnya, kan?

Ah, ini karena aku sudah terlalu rindu.

Aku berpikir untuk mengirimkan surat ke kamu setiap hari Kamis. Supaya kamu juga bisa tahu kapan aku akan mengirimkanmu surat.

Aku suka hari Kamis karena hari itu adalah hari spesial bagiku.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang