21 - kaku

5.1K 709 11
                                    

catatan 20 oktober 2023: tadinya aku publish ulang cerita DELUSI (rencananya update per hari) karena Sandiwara akan aku publikasikan setelah DELUSI yang dipublish ulang ini tamat. Sandiwara masih tahun depan (2024)

tapi aku berubah pikiran lagi dan empat hari ini aku publish ulang dikit dikit. soalnya kalo sekaligus bakal banyak banget

bagi yang sudah pernah baca dan mau baca ulang lagi sambil nunggu Sandiwara dan Dia Dean silakan ❤️

dan bagi pembaca baru selamat bergabung dengan kisah Lusi dan Zena 🫶🏻

happy reading!

____

"Kesel, kesel! Kok nggak dibales dari semalam, sih?!" teriak Gayatri di koridor menuju kelas X-A. Di tangannya terdapat ponsel dengan case pink terang dan banyak stiker hati juga terdapat gantungan berwarna pink yang terlihat makin berat untuk digenggam. Di case itu ada namanya dan nama Gabrian.

"Yang pacaran mah beda," sahut Hera yang berjalan di samping Gayatri.

Berbeda dengan kedua temannya yang sejak tadi mengobrol, Lusi hanya diam menatap dengan pandangan kosong.

Ketiganya baru saja tiba di sekolah. Gayatri dan Hera datang bersama. Lusi datang sendirian, jalan kaki seperti biasanya. Mereka tiba di kelas dan segera duduk di bangku masing-masing. Lusi menaruh kepalanya di atas meja menghadap ke dinding, lalu menutup matanya rapat-rapat. Perasaannya campur aduk. Antara ingin ke sekolah atau tidak. Dia benar-benar malas melakukan apa pun di sekolah dan rasanya ingin menghabiskan waktu untuk tidur sehari saja.

"Kak Gabrian udah datang, ke kelasnya yuk. Kalian berdua temenin gue, dong," ajak Gayatri saat sebentar lagi bel mata pelajaran pertama akan dimulai.

Lusi langsung membuka mata. Dia mengerjap. Antara ingin cepat-cepat mengiakan, tapi di sisi lain dia tidak ingin dituduh yang tidak-tidak lagi oleh Gayatri.

"Woi, mau temenin gue nggak?"

Lusi menggigit bibir. Dia ngomong sama gue bukan, sih?

"Lusiii! Denger gue nggak, sih? Lagi tidur, ya? Ya udah gue dan Hera duluan, ya?"

Lusi melotot. "Ih, gimana, sih?" gumamnya pelan, lalu dia bangun.

Gayatri dan Hera sudah tak terlihat di kelas. Lusi berjalan keluar dari sana dan menemukan dua sahabatnya itu belum terlalu jauh. Dia berlari kecil berusaha tidak menimbulkan suara. Saat dia berjalan di belakang keduanya, mereka langsung menoleh karena mendengar ada langkah orang lain.

"Aduh, sebenarnya gue lagi males." Lusi menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan kaku. "Tapi, nggak apa-apa, deh. Bosen di kelas."

Hera menatapnya bingung. "Tumben...."

"Bosen apa kangen?" ejek Gayatri sembari menarik tangan Lusi hingga sahabatnya itu berada di tengah.

"Heh? Apaan kangen-kangen? Emang kangen sama siapa? Gue kan udah bilang bosen di kelas," protes Lusi.

Hanya terdengar kekehan dari Gayatri. Tangan Gayatri melewati punggung Lusi dan kemudian mencubit lengan Hera dengan gemas. Hera sontak berjengkit kaget.

"Ngapain sih, Tri. Sakit tahu!" teriak Hera, membuat Lusi kebingungan dengan dua orang di sisi kanan dan kirinya itu.

Lusi memutar bola matanya melihat tatapan sinis dari beberapa siswi yang dia lewati. Ternyata foto antara dirinya dan Zena yang tersebar masih membuat siswi lain menatapnya dengan tatapan sesinis itu.

Saat mereka bertiga tiba di depan kelas XI IPS B, siswi-siswi di sana memandang Lusi dengan tatapan yang lagi-lagi membuat Lusi tersudut.

"Kayaknya salah gue ke sini," bisik Lusi.

"Orang-orang iri diladenin. Mending cuekin aja," kata Gayatri sambil menarik tangan Lusi masuk ke kelas.

Sadar dengan tujuannya ke sini, Lusi segera menatap penjuru kelas untuk mencari seseorang. Namun, seseorang yang dicarinya tak terlihat. Tempat di mana biasanya cowok itu duduk justru kosong.

Mungkin belum ke sekolah, batinnya.

"Kak, Kak Zena nggak datang, ya?" tanya Gayatri pada Gabrian. Lusi curi-curi dengar memperhatikan percakapan itu.

"Iya, dia bolos sekolah belakangan ini."

Mendengar jawaban Gabrian, Lusi hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Tak mungkin juga dia langsung bertanya ke Gabrian.

Hanya ada Gabrian, Rudy, dan juga Daffa. Lusi merasa menyesal datang ke kelas ini. Gabrian sibuk dengan Gayatri. Daffa sibuk dengan laptop dan sebuah stick. Rudy sibuk menggoda Hera yang sekarang pipinya seperti kepiting rebus dan mengajak Lusi untuk segera kembali ke kelas, tapi tangan Hera justru di tahan oleh Gayatri.

Lusi menatap semuanya dan menghela napas. "Gue duluan, ya?"

Tanpa peduli dengan panggilan Gayatri, Lusi tetap berjalan keluar. Dia menuju taman tak terurus. Duduk di bangku kusam sembari menatap daun-daun kering di sekitarnya.

Ponselnya dia genggam dan pandangi. Sejak semalam dia sangat ingin menghubungi Zena, tapi di sisi lain dia tidak mau. Gengsinya sangat besar. Lagipula untuk apa? Jika dia menghubungi Zena duluan, pasti cowok itu akan besar kepala.

Kesal dengan perdebatan batin itu, akhirnya Lusi mengetikkan kata-kata di sana.

Dewangga

Eh, tumben lo nggak ke sekolah?

Lusi berdecak kemudian menghapus huruf-hurufnya sebelum terkirim. Dia mulai mengetikan sesuatu lagi.

Dewangga

Lo di mana? Cuma nanya sih hehehehe

"Ish, ngapain juga sih gue nyariin dia? Mana hehehehe-nya kayak orang kaku, lagi, " gumamnya sambil menghapus hurufnya kembali hingga kosong. Tak ada satu pun yang terkirim ke Dewangga.

"Apa dia bakalan nge-chat duluan?" tanya Lusi pada dirinya sendiri. "Nggak mungkin, deh. Apa karena permintaan gue hari itu? Makanya dia nggak ganggu lagi?"

Lusi tak lagi fokus pada ponselnya dan memilih untuk menatap dedaunan kering di taman. "Nggak terurus banget sih ini sekolah," gumamnya.

Saat asyik dengan aktivitasnya menggeser-geser daun kering di sekitar sepatunya, Lusi mendengar suara langkah di belakang. Dia penasaran siapa hingga akhirnya Lusi berdiri.

Dia berbalik dan melihat seseorang yang tak cukup dia kenali berdiri tak jauh darinya.

"Kak Gabrian?" panggilnya.

Gabrian mendekat hingga jarak mereka terpisah oleh bangku di taman. "Ada waktu? Gue pengin ngobrol."

Lusi menatap Gabrian dengan pandangan bingung. Sampai akhirnya dia mengangguk, kaku. "Ada, Kak...."

***


thanks for reading!

love,

northaonie


DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang