34 - serena addison

4.2K 614 90
                                    

Zena mengajaknya ke tempat yang paling tidak ingin Lusi temui saat ini juga. Namun, semuanya juga sudah terlanjur. Dirinya keras kepala, tetapi Zena ternyata lebih keras kepala lagi ditambah pemaksa.

Lusi berdiri di cermin memandang penampilannya. Dia memikirkan orang-orang yang ada di sana. Pasti kebanyakan dari SMA Phoenix atau sekolah-sekolah bergengsi lain. Sementara dirinya? Hal itu membuatnya merasa jauh di bawah.

"Lusi?" Kirana mengetuk pintu dari luar. "Zena di depan."

"Oh, iya, Kak. Bentar." Lusi mengambil sling bag dan segera keluar dari kamar. Tak peduli lagi dengan penampilannya yang hanya mengenakan kaos berlengan pendek, celana jeans panjang, sepatu yang kusam.

Dia keluar dari rumahnya dengan gugup. Saat berbalik, dia hanya bisa menyengir ke arah Zena yang ternyata memilih untuk menunggu di luar pagar.

"Nggak pakai sweter?" teriak Zena. Lusi berjalan ke arahnya dan menggeleng. "Pakai dulu sana."

"Sweter gue masih basah." Zena menyodorkan helm kepadanya dan segera dia pakai. "Dan itu cuma satu-satunya."

Lusi baru akan naik, tetapi Zena justru turun dari motor. Dia menatap Zena bingung. Cowok itu membuka jaket hitamnya menyisakan kaos hitam polos.

"Ngapain buka jaket segala?" Lusi menatap Zena bingung. Detik berikutnya Zena mendekatinya dan meyampirkan jaket itu ke kedua bahunya, membuat Lusi perlahan mundur karena kedekatan mereka yang hampir tak berjarak.

"Pakai ini," kata Zena pelan. Lusi menatapnya heran.

"Lo pakai apa?"

"Pakai baju lah."

Lusi memukul lengan cowok itu dengan refleks. "Maksud gue jaketnya. Lo kan yang bawa motor. Nggak, ah. Nih, gue balikin." Lusi baru akan menarik jaket itu dari bahunya, tetapi Zena langsung menahannya.

"Pakai nggak?" Zena memasukkan tangan Lusi ke bagian lengan jaket, lalu berpindah ke lengan yang satu lagi. "Kayak anak kecil aja minta dipakein baju. Aduuh..." Zena langsung mendapatkan tamparan pelan di pipi.

Lusi mundur dan mau tak mau memakai jaket milik Zena daripada mereka berujung sama-sama egois. Kali ini, dia yang mengalah lagi. Lusi menarik ritsleting dan merasakan kehangatan setelah itu.

Ini harum Zena, batinnya. Dia tersenyum sembari naik ke atas motor. Jantungnya bahkan masih sering berdegup kencang tiba-tiba.

"Udah?" tanya Zena saat mesin motor sudah menyala. Lusi mengangguk di belakang dan tak lama kemudian motor Zena sudah melaju.

"Perjanjian terakhir. Ingat?"

Pertanyaan dari Zena membuat Lusi tiba-tiba salah tingkah. "E—emang kenapa dengan perjanjian terakhir?" tanyanya. Padahal dia sudah tahu apa. Hanya saja dia terlalu gugup sampai kata-kata yang terlontar keluar secara spontan.

"Pihak kedua harus memeluk pihak pertama dari belakang. Perjanjian pasal ini berlaku jika pihak pertama meminta. Jika pihak kedua menolak, maka pihak pertama berhak memaksa." Ucapan Zena langsung membuat Lusi menggeleng.

"Peluk gue!" seru Zena. Dia sudah menahan tawa di depan.

"Apaan, sih. Nggak." Lusi memundurkan kepalanya. "Pokoknya enggak. Jijay."

"Demi keselamatan bersama," kata Zena, lalu dia terkekeh.

"Gaje," kata Lusi dengan judes. Tak berselang lama, rautnya berubah tersenyum.

Dia tidak sadar, Zena memperhatikannya lewat kaca spion sejak tadi.

***

Seorang pria berdiri di tepi jalan tak jauh dari Adi Bakti. Dia bersandar di motor yang terparkir. Satu buah rokok yang sudah terbakar dia apit di ruas. Tatapannya tak lepas dari sebuah motor yang melaju dari arah berlawanan.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang