10 - rangrang pirang

7.3K 820 67
                                    

 "Kamu, ya!"

Teriakan itu menjadi suara pertama yang Zena dengar setibanya di rumah.

"Dari mana aja semalam? Kenapa baru pulang? Ditelepon nggak diangkat-angkat! Bukannya izin dulu. Udah berapa kali sih Bunda kasih tahu? Ribuan kali! Main sama komplotan berandal itu lagi kamu, hah?"

Di ruang keluarga, berdiri sosok perempuan berumur namun wajahnya yang masih terlihat muda. Bunda. Zena yakin langkahnya untuk segera tiba di kamar tak akan berakhir dalam waktu cepat. Melihat Bunda yang menatapnya tajam sambil melipat tangan, Zena hanya bisa pasrah saat ini sambil memasang wajah bosan.

"Zena! Bunda tanya ya jawab bukannya diam. Makin hari kamu makin bandel. Disekolahin di Adi Bakti bukannya introspeksi diri malah makin menjadi."

Zena menatap lantai dan menggaruk-garuk kepalanya.

Sementara Bunda mengamati anak laki-lakinya yang masih memakai celana abu-abu dan kaos putih, dengan kemeja sekolah yang melilit perut. Pandangan mata tajam itu berpindah ke telinga Zena.

"Apaan tuh hitam-hitam di telinga kamu?!" tanya Bunda sambil menunjuk benda hitam yang terpasang di telinga anak bungsunya.

"Sudah berapa kali Bunda bilang jangan pakai anting!" teriak Bunda lagi. "Cowok itu nggak pakai anting, Zena! Yang pakai anting tuh perempuan! Kamu mau jadi perempuan?!"

"Ini bukan anting, Bun!" teriak Zena jengkel.

"Ya terus apa? Ban mobil?"

"Bisa jadi."

"Kamu, ya!"

Teriakan-teriakan itu berhenti saat sosok cowok berjaket turun dari tangga. Zena dan Bunda segera menatap ke arah cowok itu yang tampangnya biasa-biasa saja dengan keributan itu, seolah mengerti hal yang barusan terjadi adalah bukan hal baru lagi.

"Mau ke kampus, Ram?"

Intonasi bicara Bunda langsung melembut pada sosok Rama yang bersiap-siap ingin keluar rumah. Cowok tinggi berambut rapi itu segera menghampiri Bunda dan mencium tangannya.

Zena memasang wajah malas dan langsung memalingkan muka saat tak sengaja matanya bertemu dengan mata Rama.

Mereka sedarah. Satu ayah. Satu ibu. Rupa yang tak beda jauh. Namun, sifat mereka berbanding terbalik. Rama yang pintar. Rama yang sopan. Rama yang taat aturan. Sekarang kakaknya itu kuliah semester 3 di sebuah Universitas terbaik di Indonesia dan selalu mendapat IPK 4.

Sementara Zena? Zena bahkan tak tahu apa itu aljabar.

Orangtua mereka lebih lembut kepada Rama. Semua itu tidak menjadikan Zena cemburu. Apalagi iri. Toh, dia sadar kedua orangtuanya tetap menyayanginya dengan cara yang berbeda. Zena sadar dengan kelakuannya yang tak peduli dengan apa pun itu hingga terkadang berbuat semena-mena.

Acara perpisahan itu membuat Zena bosan. Zena mulai beranjak lagi dan kembali tak sengaja bertatapan dengan Rama. Mereka saling memandang dingin. Wajah mereka datar satu sama lain kemudian keduanya pergi ke tujuan masing-masing setelah saling memalingkan wajah. Zena yang ingin ke kamar dan Rama yang sudah menghilang di perbatasan ruang tamu dan ruang keluarga.

"Bunda belum selesai ngomong sama kamu, Zena!" teriak Bunda lagi.

"Aku mau tidur! Ngantuk. Hoam...." Zena pura-pura menguap dan terus melangkah hingga tiba di kamarnya yang bersebalahan dengan kamar Rama.

"Jangan tidur! Cepetan ke sekolah!"

"Blablablabla."

"Durhaka kamu, ya! Kalau kamu bandel lagi, Bunda bakalan nyuruh ayah masukin kamu ke pesantren di Jawa."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang