64 - pengakuan diam-diam

2.9K 550 162
                                    

Luna keluar dari lobi, baru saja ingin melangkah turun dari anak tangga namun terhenti saat melihat mobil Zena muncul di hadapannya. Dia terdiam. Ini adalah hari terakhirnya. Kesepakatan 15 hari itu akan berakhir hari ini juga, lalu kenapa semuanya terasa berat? Ini adalah yang dia harapkan dari awal, yaitu membuat Zena menjauh darinya.

Dan membiarkan Zena menerima kenyataan bahwa sosok Lusi benar-benar telah pergi sepenuhnya dari dunia ini.

"Hai," sapa Zena saat kaca jendelanya terbuka. Cowok itu menggerakkan kepalanya ke arah jok samping. "Mau terus berdiri di situ? Sini masuk."

Luna memejamkan matanya sesaat. Dia mulai melangkahkan kakinya yang terasa berat. Dibukanya pintu mobil itu, lalu dia duduk di samping Zena.

Zena pun tak banyak bicara. Entah dia harus lega, tapi kenapa rasanya ingin terus mendengar Zena bicara?

Mereka akhirnya tiba di sekolah. Mobil itu berhenti di parkiran. Saat Luna ingin membuka pintu, tangannya langsung ditahan oleh Zena. Luna menatap Zena bingung. Sementara Zena menatapnya intens.

"Lo sakit?" Zena menyentuh dahinya. "Muka lo pucet."

"Mata lo...." Zena menjada kalimatnya. "Bengkak? Lo kenapa? Habis nangis?"

"Enggak." Luna langsung menggeleng. Dia memegang tasnya di pangkuan dengan buru-buru. "Gue harus ke kelas sekarang."

"Tunggu."

Luna langsung berhenti bergerak. Jantungnya berdegup kencang saat melihat Zena mendekat dan memperbaiki rambut Luna yang berantakan.

"Semalam gue nggak bisa tidur. Temani gue di perpustakaan. Ini hari terakhir kita."

Luna ingin menolak, tetapi dia hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Zena langsung keluar dari mobil. Zena membukakan pintu untuknya, lalu dia keluar dari sana dan menjadi perhatian siswa-siswi lainnya.

Zena menariknya ke arah yang berbeda dari arah menuju kelas. Luna mengernyit. Kebingungannya hilang saat sadar bahwa jalan itu menuju perpustakaan sekolah.

"Ngapain kita ke sini?" tanya Luna curiga.

"Kan udah gue bilang, mau tidur. Gue nggak bisa tidur semalam." Zena membuka pintu perpustakaan yang tidak terkunci. Mereka masuk ke dalam, duduk di masing-masing kursi yang mengelilingi sebuah meja panjang.

"Kenapa harus di perpustakaan. Lo nggak takut ketahuan sama pustakawan?" tanya Luna saat duduk tepat di samping Zena. Zena yang menariknya untuk selalu berada di dekat cowok itu.

"Itu urusan belakangan. Pokoknya gue mau tidur."

"Tapi, gue—"

"Dan harus ditemani lo. Ini hari terakhir kita dan gue terlalu ngantuk. Jadi, selama gue tidur lo harus ada di dekat gue. Ngerti?" ucap Zena tajam.

Luna menjauh. Dia mencari buku untuk dia baca sebagai penghilang penat selama Zena tertidur. Setelah menemukan buku yang pas, dia kembali ke kursinya. Dia membuka tasnya di meja dan mengambil sebuah earphone dan ponsel, lalu dibukanya pemutar musik setelah memasang earphone ke telinganya.

Zena sibuk mendekatkan beberapa kursi untuk menjadi 'tempat tidur'nya. Luna melihat itu hanya bisa menggeleng dan kembali sibuk dengan dunianya. Beberapa saat kemudian, dia dikejutkan oleh Zena yang tiba-tiba menjadikan paha Luna sebagai bantal.

Zena memejamkan mata tanpa mau repot-repot meminta izin. Cowok itu bahkan sudah terlalu nyaman dengan posisinya, berbaring di kursi-kursi yang menyatu, tangan bersedekap, juga satu lutut yang tertekuk ke atas.

"Zena, gue nggak mau ya pustakawan tiba-tiba datang dan ngelihat kita. Jauh-jauh, deh," kata Luna frustrasi.

"Bodo amat lah. Paling kita diusir."

Percuma bicara dengan orang keras kepala seperti Dewangga Bayuzena. Sikap seenaknya cowok itu membuat Luna tak bisa melakukan apa pun.

Luna kembali membaca buku, mendengarkan instrumen musik klasik dengan perasaan gundah. Setiap kata yang tertulis di buku tak sampai ke pikirannya. Instrumen musik yang terdengar lewat earphone tak lagi terdengar jelas. Fokusnya teralihkan.

Dia mengepalkan tangan. Berulang-ulang mengucapkan kalimat dalam hati untuk tidak menangis.

Air matanya sudah menumpuk. Luna menutup buku, membuka earphone, dan menutup pemutar musik. Dia menatap Zena di bawahnya dan senyumnya mengembang. Tidak, ini bukan senyum kebahagian. Dia tersenyum bersama rasa sakit di hatinya.

Zena tertidur nyenyak. Zena tak akan mungkin mendengar suaranya karena kurang—tepatnya tidak bisa tidur seperti pengakuan cowok itu sendiri. Dia pasti sedang sangat lelap, kan?

Tangan Luna bergerak ke pipi Zena, tetapi berhenti tiba-tiba. Apakah Zena akan terbangun tiba-tiba jika dia hanya menyentuh pipi cowok itu?

Apakah jika dia jujur sekarang disaat cowok itu tertidur nyenyak, dia bisa lega?

Luna memejamkan mata saat tangannya menyentuh pipi Zena. Dia mengerjap saat melihat tak ada pergerakan dari cowok itu. Ditariknya kembali tangannya dari pipi Zena, kemudian dia hanya bisa menghela napas pelan.

"Gue lelah, Zena. Lelah banget dengan semua yang gue jalani. Dengan kehidupan gue...," katanya hampir tanpa suara.

Luna tersenyum perih memandangi wajah lelap Zena.

"Seandainya gue bisa bilang, gue akan bilang di depan lo langsung." Luna menggeleng-geleng, menahan sesaknya sendiri. "Tapi, ini sulit. Sulit banget. Gue lagi cari gimana cara ngejelasin semuanya ke bunda."

Luna tersenyum lagi. Satu tangannya buru-buru menghapus air mata yang hampir menetes dari pipinya. "Gue kangen sifat lo yang nyebelin, tapi nyenengin dalam satu waktu. Gue kangen lihat senyum tulus lo ke gue. Gue kangen hari-hari di mana cuma ada gue dan lo. Gue dan lo. Bukan lo dan Luna atau lo dan Sere."

"Lo nggak perlu nyuruh Luna berubah jadi Lusi-lo. Karena ... gue sebenarnya Lusiana Elmira. Bukan Luna."

Jeda lama.

"Karena gue yang sebenarnya berusaha menjadi Luna selama hampir tujuh bulan ini. Gue akan tetep menjadi Luna, selamanya. Gue udah janji ke Luna kalau gue akan tetep jadi dirinya sampai dia pulang, tapi apa? Dia udah pergi, kan? Nggak akan pernah kembali lagi sampai kapan pun itu...."

Zena benar-benar tertidur nyenyak. Sementara setiap kata yang keluar lewat bibir Luna hanya perkataan yang hampir tak terdengar.

Luna tersenyum lirih. "I love you most, Zena."

***

thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang