70 - fakta yang terungkap

3.5K 490 48
                                    

PLAK

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Zena hingga wajah Zena berpaling ke kanan. Zena terlalu terkejut untuk mengerti apa yang terjadi. Yang dia pahami hanyalah seorang cewek yang selama ini dia anggap tak bisa bersosialisasi dan terlihat paling penakut tiba-tiba menampar pipinya sangat kencang dan menatapnya dengan amarah yang terpancar dari sorot matanya.

"Lo kenapa ngatain dia murahan? Gue udah sempet bilang dari awal jangan macam-macam ke dia!" bentak Hera dengan suara tertahan agar tak terdengar oleh Lusi di dalam kelas sana.

"Dia cerita ke lo?" tanya Zena dengan tatapan menyelidik.

"Iya."

"Anjir ngapain lo nampar gue?" Zena menggerutu sembari mengelus pipinya yang terasa perih.

"Baru nyadar?" tantang Hera, meski dalam hati dia takut setengah mati.

"Sadis juga lo." Zena menarik pergelangan tangan Hera, lalu mendorong Hera ke arah Rudy yang segera ditangkap cowok itu. Rudy merangkul Hera dan tak melepasnya.

"Lepas!" seru Hera pelan.

Sementara Rudy mengangkat alisnya bingung. "Ada apa, nih?" tanyanya.

"Tuh, cewek lo ngamuk," kata Zena santai sambil masih mengelus pipinya.

"Dia bukan pacar gue," kata Hera tak terima. "Terus lo kenapa sok-sokan ngelarang kami ngelakuin apa yang pengin kami lakuin? Andaikan lo nggak pakai ancaman hmph—"

"Itu hak gue, kan? Udah, lah. Lo nurut aja. Duduk manis sambil makan popcorn enak, tuh," kata Zena kesal, memotong kata-kata Hera dan membuat cewek itu semakin kesal. Ditambah Rudy yang dengan sengaja menutup mulutnya agar dia tak bisa bicara.

"Satu lagi." Zena mengangkat telunjuknya. "Gue tahu lo temennya, tapi ingat gue lebih tahu apa yang gue lakuin. Kalau lo khawatir dia sakit hati, itu bukan urusan lo."

"Karena dari awal tujuan gue emang cuma pengin ngelihat dia sakit hati," lanjut Zena. "Jadi, lo bisa kan buat nggak usah ikut campur urusan gue?" Zena berbalik pergi.

"Lo tega sama Lusi?" tanya Hera pelan. "Lo tega ngebuat Lusi nangis?" Hera mulai tersedu. "Bukannya lo orang yang paling tersiksa saat Lusi pergi?"

Zena mengepalkan tangannya. Dia berbalik menatap Hera dengan sorot tak suka. "Udah gue bilang, semua itu bukan urusan lo. Bukan urusan kalian." Lalu dia pergi entah ke mana, memilih untuk menjauh dari kelas di mana Lusi berada.

***

Lusi gemetar. Pistol yang dipegang papa mengarah ke seseorang yang berdiri melindungi Lusi. Mama berdiri di belakangnya. Satu tangan Mama memeluknya erat. Sementara Lusi tak bisa bergerak. Tubuhnya mematung karena terlalu takut.

"Hei?"

Lusi membuka mata. Wajah Zena yang pertama kali muncul. Lusi menatap sekeliling dan sadar bahwa dia ketiduran di sofa. Diliriknya Zena yang duduk di lantai sambil menggenggam tangannya erat.

"Mimpi buruk?" Zena menaikkan alis.

Satu hari ini, mereka menghabiskan banyak waktu. Membolos dari SMA Phoenix, menerobos ke SMA Adi Bakti, lalu berkeluyuran di jam sekolah hingga malam tiba. Tak terasa semua berjalan alami saat Lusi tanpa sadar melupakan diri bahwa dia adalah Luna.

"Kamu ... ternyata belum pulang juga?" tanya Lusi.

Zena tersenyum kecil. "Kangen aja."

Lusi berpaling. Dia menjauh dari sana menuju dapur untuk minum. Dari tempatnya berdiri, Zena masih terlihat dari sini. Lusi menatap cowok itu dan menghela napas. Lusi hanya merasa hari ini Zena terlihat sedikit berbeda atau ... hanya dia saja yang merasa Zena berbeda?

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang