95 - cerita sebelum tidur

3.2K 487 57
                                    

Lusi menggeleng-geleng ketakutan. Meski raut wajah Zena sangat serius, Lusi sangat yakin laki-laki itu tidak akan berbuat hal lebih jauh. Lusi memegang pisau lipat di tangan Zena yang belum terbuka, mendorongnya ke bawah. Sementara tatapan mereka tak lepas satu sama lain.

Zena mendengkus. "Denger. Gue emamg belum pernah ngebunuh orang, tapi kalau udah kayak gini gue benci banget."

"Lo tadi nanya kan, Zena itu siapa?"

Zena menaikkan alis.

"Coba lo berusaha ingat, gue siapa lo di masa lalu?" Lusi tersenyum lirih. "Lo orang terpenting di hidup gue. Rasanya sakit berkali-kali lipat saat lo dengan mudahnya ngelukain gue sampai berdarah. Gue sakit hati, tapi lo nggak ingat apa pun tentang gue. Apa gue bakalan marah? Gue nggak marah sama Zena, gue marahnya sama lo yang sekarang."

"Lo pikir, gue akan peduli?" Zena berdecih. "Dan lo yakin gue bakalan bisa percaya dengan semua omong kosong lo itu?"

Lusi menunduk, menarik napas dalam-dalam sebelum kembali memandang mata Zena. "Jadi, lo lebih percaya omongan orang itu dibanding gue?" tanyanya. "Lo sadar nggak sih kalau orang yang namanya Bryan itu cuma pengin mancing amarah lo, doang?" Lusi tak yakin bisa memengaruhi secepat yang dia harapkan, tetapi dia tetap akan berusaha. "Lo terlalu nelan mentah informasi yang lo denger. Lo nggak mikir dulu kalau semua yang dia lakuin itu nggak masuk akal?"

"Lo pikir gue bakalan denger kata-kata lo?" Zena berdecak. "Kalian sama aja."

"Coba pikir, pasti dia ngawasin kita. Pasti dia tahu lo yang angkat telepon itu. Kamera. Di sana ada banyak kamera tersembunyi. Kenapa lo nggak mikir kalau di sini gue juga korban mereka?"

"Kenapa gue harus yakin kalau lo juga korban?"

"Coba pakai otak lo buat mikir. Jangan pakai emosi, doang."

"Lo sekarang berani ngatain gue, ya?"

"Iya. Ah—" Lusi meringis saat kakinya yang luka itu dicengkeram kuat oleh Zena. Lusi berusaha membuka cengkeraman tangan Zena. "Gue bakalan bantuin lo sampai lo ingat semua masa lalu lo, tapi lo juga harus bantuin gue. Kita kerjasama. Siapa yang nyulik gue dan siapa yang ngirim lo ke sana."

Zena tertawa. "Kenapa gue harus dengerin omongan lo?"

"Jadi, lo bakalan dengan sukarela ngebunuh gue?" Mata Lusi berkaca-kaca. Suaranya serak. "Miris banget. Padahal gue udah berharap bisa mati setelah lo tahu gue siapa di masa lalu lo. Ka—kalau lo ngebunuh gue, emang lo bisa cari tahu sendiri tentang siapa lo sebenarnya?"

Tekanan dari cengkeraman Zena mengendur. "Oke. Walaupun gue masih nggak percaya 100%, tapi sebenarnya gue juga pengin cari tahu orang-orang yang kerjasama dengan lo itu."

"Ck, gue nggak ada hubungan apa pun sama mereka. Gue juga nggak tahu mereka sama sekali." Lusi menghela napas panjang. "Jadi, lo setuju, kan? Mari bersikap normal saat kembali ke sana. Gue nggak tahu mereka ngerencanain apa jadi kita juga perlu rencana."

"Rencana?"

"Iya, jangan pernah bahas nama Zena di vila itu atau apa yang kita bicarain saat ini. Mari bersikap normal. Lo tetep nganggap gue adalah bagian dari mereka. Lo tetep bersikap kayak sebelumnya. Atau kita ikutin alur, apa tujuan mereka ngelakuin semua ini."

Zena berdecak pelan, lalu berdiri. "Gue nggak ada pilihan lain. Ingat, kalau gue tahu ini lagi-lagi cuma sandiwara lo, saat itu juga hidup lo berakhir."

Lusi menghela napas panjang. "Ngancem lagi," gumamnya.

"Gue denger. Cepetan jalan."

Lusi memandang kepergian Zena sambil tersenyum sedih. Laki-laki itu tak berubah andaikan ini memang lah pertemuan pertama mereka. Lusi bangkit dan menjerit kecil. Suaranya mampu didengar Zena di depan sana. Kaki Lusi semakin sakit dan menguras tenaganya perlahan.

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang