08 - semalaman

7.9K 905 71
                                    

Ada jeda lama setelah Zena mengucapkan penawarannya kepada Lusi. Cewek berambut pirang itu terdiam memandang Zena yang masih anteng bersandar pada rak. Mulut Lusi bergerak ingin berujar, tapi dia mengurungkan niat. Dia hanya menebak jika nanti ujung-ujungnya dirinya sendiri yang akan kesal.

Maka dari itu, Lusi memilih berdiri tanpa mengatakan apa pun. Diam-diam dia berpaling ke lain arah untuk menyembunyikan sisa-sisa kristal bening yang mungkin saja terlihat jelas di pipinya.

Dia beranjak duduk ke kursi, mengambil buku apa pun di rak dan melakukannya seolah-olah hanya ada dirinya di sana. Dengan pelan dan santai, cewek berambut pirang itu membuka lembaran buku dan membacanya.

Tak lama dia bertahan pada posisi tersebut. Meski dia sudah bersusah payah menganggap hanya ada dirinya sendirian di perpustakaan itu, tetap saja dia merasa diawasi oleh manusia lain di sana. Perlahan dengan pasrah Lusi menoleh ke kirinya.

Seorang cowok yang bersandar pada rak buku dan menatapnya datar. Sedatar raut Lusi sekarang saat memanangi cowok itu. Hingga jika ada yang melihat mereka tak ada yang berbeda. Cowok itu melipat kedua tangannya di dada dan dia membuang muka, pongah.

Tak berselang lama wajah tanpa ekspresi itu kemudian berubah drastis. Zena tersenyum miring setelah memandang Lusi lamat-lamat. "Lo ternyata cantik juga ya kalau diperhatiin lebih serius."

Lusi membuang muka. "Apaan, sih," kata Lusi dengan suara pelan dan kembali membaca kalimat demi kalimat pada buku yang bahkan dia tak tahu buku apa itu.

"Nggak usah sok-sokan tiba-tiba baca buku gitu. Cengeng sih, cengeng aja," kata Zena dengan lantang, membuat ruangan yang tadinya gamang berubah mendadak. "Nggak usah sok tegar. Tuh, muka lo masih penuh sama air mata."

"Pergi dari sini," kata Lusi datar tanpa menatap cowok itu. "Ganggu!"

Suara sepatu beradu dengan lantai. Setelahnya hening. Lusi berpaling ke posisi di mana cowok tadi berada. Zena pergi.

Pandangan Lusi beralih ke jendela perpustakaan. Hanya ada sisa cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Ruangan makin gelap membuat Lusi tak kuat lagi membaca dalam kegelapan. Dia menaruh buku ke rak semula. Diliriknya kembali tempat Zena tadi yang kini kosong.

Cowok itu ke mana?

Bahkan tak ada suara yang terdengar di ruangan itu. Benar-benar hening. Suara akan muncul hanya jika Lusi bergerak.

Lusi merasa takut sendirian. Degupan jantungnya menjadi-jadi saat berbagai macam hal menakutkan muncul menghantui kepalanya. Gimana kalau perpus ini banyak setannya?

Bertepatan dengan pemikiran parno itu, ruangan perpustakaan berubah terang. Cahaya lampu yang terpantul pada cat dinding putih makin menerangi ruangan tersebut. Bibir Lusi terbuka sedikit, berselang beberapa saat kemudian dia berpikir sudah pasti Zena yang menyalakan lampu.

Lusi memasang telinga. Matanya menyipit. Kenapa tak ada suara cowok itu? Tak ada suara sepatu, tak ada suara apa pun lagi.

Ada rak yang saat ini menghalangi penglihatannya untuk bisa melihat keberadaan Zena. Lusi berdiri dari duduknya. Dia meninggalkan tempat itu, sekadar ingin memastikan bahwa dia tidak sendirian atau bisa saja pintu sebenarnya sudah terbuka dan Zena pergi tanpa memberitahukannya, kan?

Lusi mempercepat langkahnya keluar dari ruangan kecil tersebut. Langkahnya berhenti mendadak saat berada di batas ruangan. Seseorang berdiri tepat di hadapannya dengan jarak yang sangat dekat, membuat napas Lusi tertahan untuk beberapa saat ketika wajahnya hampir mencium dada cowok di hadapannya itu.

Dia mundur selangkah saat tersadar, lalu mendongak dan matanya bertubrukan dengan mata Zena.

"Hai?" sapa Zena datar sementara Lusi masih terdiam. "Nyariin gue, ya?"

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang