33 - rencana kencan

4.6K 628 25
                                    

by northaonie

part of zhkansas

...

Beberapa hari setelah kejadian yang menimpa Lusi, Zena sengaja diam dan membiarkan Clara bersikap seolah-olah tak pernah melukai orang lain. Namun, sekarang dia tidak ingin tinggal diam. Dia sengaja berada di dalam kelas saat istirahat dan membiarkan murid lain keluar hingga hanya ada dirinya dan Clara di dalam sana.

Seperti dugaannya, Clara tidak keluar saat tahu Zena tetap di kelas itu. Clara masih selalu mencari perhatian darinya. Cewek itu mulai berjalan ke arahnya sembari tersenyum. Zena ikut mendekat dan berhenti di tengah kelas.

Tanpa basa-basi, Zena langsung mengungkapkan isi hatinya. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang udah lo lakuin beberapa hari yang lalu?"

"Maksud lo...?" Senyum Clara langsung pudar. "Apaan, sih? Gue nggak ngerti."

"Nggak ngerti?" Zena tertawa mengejek. "Bener-bener sakit nih cewek," kata Zena yang membuat Clara terkejut. Bagaimana pun Zena marah padanya, Zena tak pernah melontarkan kata-kata seperti itu.

"Sekali lagi lo ngelukain Lusi, lo yang akan berhadapan langsung sama gue setelahnya."

Zena mulai beranjak, tetapi tangannya segera ditahan oleh Clara. Zena segera menarik tangannya menjauh.

"Zena...," panggil Clara pelan.

"Jangan sebut nama gue lagi sebelum lo minta maaf duluan ke dia." Zena menunjuk ke wajah Clara dengan marah. Dia menurunkannya cepat saat melihat Clara ketakutan. "Kalau lo bukan cewek, udah dari tadi lo gue pukul. Dan ingat, semua kata-kata gue barusan itu nggak main-main. Sekali lagi lo berani, gue yang bakalan turun tangan dan lo tinggal nunggu hukuman terberat apa yang bisa lo dapat."

"Gue nggak salah!" teriak Clara.

Zena hanya menatap Clara tanpa ekspresi. "Jangan muncul di depan gue dengan sengaja. Gue muak sama lo." Zena segera meninggalkan Clara menuju seseorang yang sudah menunggunya sejak tadi.

***

Apa gue nggak salah ngambil keputusan? kata Lusi dalam hati.

Meski dia akui bahwa dirinya menyukai Zena. Akan tetapi, dia tidak tahu apakah Zena benar-benar menyukainya.

Sejak hari pertama menjadi pacar Zena, Lusi selalu terbayang oleh pertanyaan yang sama. Sebenarnya ada ketakutan yang dia rasakan meski di sisi lain ada rasa yang tak bisa dia definisikan setiap kali Zena berada di dekatnya. Mungkin itu perpaduan senang dan segala bentuk yang mengarah ke hati seseorang yang sedang jatuh cinta.

Zena bahkan datang satu jam sebelum Lusi berangkat di waktu biasanya. Zena selalu menunggu di rumahnya dan mengobrol dengan Nenek. Di depan Nenek, Zena mengatakan bahwa dirinya dan Lusi adalah teman dan antara guru dan murid les. Itu sebenarnya adalah permintaan Lusi karena entah bagaimana respons Nenek jika tahu Lusi sudah punya pacar dan orang itu adalah Zena.

"Hai."

Lusi terkejut saat tiba-tiba saja suara Zena terdengar di belakangnya. Dia mengikuti arah langkah Zena hingga Zena ikut duduk di bangku itu.

"Hai," sapa Lusi balik. "Kenapa lama? Tumben."

"Ada urusan bentar," balas Zena pelan. "Oh, iya. Beneran nih nggak laper?"

Lusi mengangguk. Dia duduk menyamping memandang Zena yang bersila. Lusi kembali memahami materi yang akan diuji pada mata pelajaran setelah istirahat.

Disaat Lusi terlalu fokus membaca bukunya, dia sampai tak sadar Zena menyentuh lututnya yang masih sakit. Lusi meringis. Dia menatap Zena heran.

Zena tidak menatapnya dan justru menatap lutut cewek itu. "Cepat sembuh, ya?"

Lusi tertawa geli. "Ngapain, sih?"

Zena meniup lututnya sekali. "Cepet sembuh supaya gue bisa ajak Lusi jalan."

Lusi mengulum senyum. "Lebay," katanya, lalu tatapannya kembali tertuju ke buku.

"Gue serius pengin ngajak lo ke suatu tempat." Zena menarik bukunya, membuat Lusi berusaha mengambil bukunya kembali.

"Balikin, Zena!" teriak Lusi, tetapi Zena tetap mengangkat buku itu terlalu tinggi hingga membuat Lusi tak berani mendekat lagi.

"Makanya dengerin orang kalau bicara." Zena mengacak rambut Lusi hingga benar-benar kusut. Lusi berdecak kesal. "Kira-kira kapan bagusnya?"

"Memangnya kita mau ke mana?"

"Ke tempat balapan. Lo belum pernah ke tempat seramai itu, kan? Pengin nggak ngerasainnya sekali-kali ada di sana?"

Lusi mengerjap. Dia tidak pernah berpikir untuk ke tempat yang Zena maksud, tetapi mendengarnya saja Lusi sudah ngeri duluan. Kumpulan anak-anak motor. Cewek-cewek berpakaian terbuka. Apa begitu? Seperti yang pernah Gayatri ceritakan saat Gabrian membawanya ke tempat yang sama?

"Nggak, ah." Lusi menggeleng tegas.

"Kenapa?" tanya Zena.

"Pokoknya nggak mau."

"Lo harus mau. Itu keputusan gue yang mutlak."

"Keputusan sepihak. Gue belum iyain!"

"Sabtu malam, jam 7. Gue jemput."

"Ih, gue udah bilang nggak bakalan mau."

Mereka terus saling adu. Zena yang terus memaksa dan Lusi yang terus menolak. Sampai akhirnya, Lusi yang mengalah. Saat Lusi mengiakan sebagai keputusan yang tak bisa diubah lagi, Zena mengacak rambutnya kembali.

Kali ini Lusi merasakan kehangatan di hatinya. Dia menutup matanya. Zena selalu mengacak rambutnya seolah-olah itu adalah sebuah hobi. Perlakuan Zena berubah. Lusi tak lagi merasakan rambutnya diacak-acak, tetapi melainkan dirapikan dengan lembut. Selalu seperti itu.

Semua kehangatan di antara mereka tak lepas dari pandangan Gayatri dan Hera. Dengan semangatnya Gayatri terus-terusan mengambil gambar dua remaja yang sedang kasmaran. Hera jadi ikut antusias meski sebenarnya dia masih curiga pada Zena. Zena terlalu sulit untuk dia percayai.

Gayatri mengunggah foto dan mulai membuat sebuah tweet.

Pacar baru sahabat gue. #SMAPHOENIX <3 #SMAADIBAKTI . #ZenadanCabe ? Salah besar! yang bener tuh #ZenadanPujaanHati Lusi nggak cabe seperti kalian wahai cewek-cewek Phoenix yang sok cantik. Hehe.

***


 

DELUSIWhere stories live. Discover now