63 - mulai terbiasa

2.6K 438 57
                                    

Luna menatap dinding kaca, kemudian melihat ke layar ponselnya lagi. Setelah itu, dia kembali menatap pemandangan di luar sana. Itu yang sejak tadi dia lakukan. Terus menunggu balasan dari Zena sementara satu pun pesan darinya tak terbaca sama sekali.

Luna hanya terus merenung hingga ada panggilan masuk dari Zena. Luna menerimanya tak semangat dan tak bicara sampai Zena yang bicara lebih dulu.

"Gue di luar. Bukain," ujar Zena.

Luna menghela napas panjang. Luna berdiri menuju pintu dan membukanya. Dia terbawa suasana. Luna sampai tak ingat bahwa sekarang dia ada dalam masa pacaran dengan Zena selama 15 hari untuk sebuah tujuan.

Saat membuka pintu, Zena tampak bosan. Cowok itu mengacak rambutnya sambil berjalan masuk. "Kenapa lama, sih?"

Luna lagi-lagi menghela napas. Selama berjam-jam dia memikirkan Zena dan Sere, tetapi Zena terlihat biasa-biasa saja. Luna berdecak dan mengangkat wajahnya. Harusnya tak memikirkan semua ini. Dia memandang Zena yang duduk di sofa dan sedang memainkan ponsel.

"Oh, lo dari tadi nge-chat. Gue nggak bales," kata Zena santai.

"Karena lagi ada urusan?" tambah Luna yang masih berdiri di sisi sofa. Dia benci dirinya yang cemburu. Itu terasa aneh baginya. "Gue lihat lo pulang bareng Sere...."

"Oh, itu." Zena diam sejenak memandang wajah Luna. Zena menahan tawa menatapnya. "Gue nganterin Sere. Dia lagi sakit."

"Emang sakit apa?"

"Periksa doang, sih. Dia ada riwayat asma."

"Oh...." Luna akhirnya duduk dan yang dia lakukan hanya memainkan jari sambil sesekali melirik ke arah Zena yang memandangnya. "Kalian temenan, ya?"

Zena menaikkan alis. "Iya."

"Oh...."

***

Teman, ya?

Luna terus memikirkan itu sepanjang malam. Zena berhasil mengacak-acak perasaannya. Pagi ini Zena menjemputnya. Saat keluar dari mobil, Zena menarik tangannya agar sama-sama menuju gedung sekolah. Namun, saat berpapasan dengan Sere, Zena berhenti menggenggam tangannya dan cowok itu sangat asyik bicara dengan Sere.

Luna tak akan secemburu ini jika Sere tidak terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai Zena.

"Pagi, Lun," sapa Sere sembari melambaikan tangan. Dia tersenyum sejenak sebelum kembali mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Zena.

"Pagi, Kak," balas Luna pelan. Sere sudah tak melihatnya. Bahkan Zena sibuk menatap Sere. Luna menghela napas. Dia sangat ingin jujur kepada Zena bahwa dia tidak suka melihat kedekatan mereka, tetapi posisinya di sini hanya sebagai Lusi yang sedang pacaran dengan Zena.

"Gue pergi dulu." Suara Luna pelan. Dia menatap Zena yang sepertinya tak mendengar ucapannya. Luna pasrah dan beranjak pergi.

"Mau ke mana, Lun?" tanya Sere.

"Ke loker dulu. Duluan, Kak." Luna melambaikan tangannya kepada Sere, lalu perhatian Luna tertuju kepada Zena. Zena hanya menatapnya tanpa bicara. Pun tanpa ekspresi. Luna buru-buru pergi.

Mungkin, Zena sedang merencanakan sesuatu. Toh, cowok itu memang tak bisa ditebak.

Luna terlalu kesal. Dia membuka lokernya untuk menyimpan buku paket, tetapi dikejutkan oleh sekumpulan snack, beberapa cokelat, dan surat merah yang diberi pita merah muda.

Luna menganga. Dia meneguk ludah. "Apa lagi, sih?" gumamnya sembari mengambil surat itu dan membukanya dengan sedikit kekesalan.

Nih, dimakan.

Aman, kok. Baru gue beli di minimarket tadi subuh :)

- SA

***

Setelah hari-hari berlalu, Luna merasa semua berjalan normal seolah dia benar-benar menjadi Lusi seperti permintaan Zena. Diantar jemput oleh Zena dan jika Zena ada urusan maka Luna akan bepergian dengan Rama. Menghabiskan waktu di meja yang sama saat di kantin jika Zena tidak hilang tiba-tiba. Mendapatkan perlakuan yang baik dari Zena, sangat berbeda dari awal mereka bertemu di sekolah ini. Hingga Luna tak merasa waktu berlalu begitu cepat.

Luna menggerakkan tangannya di atas meja dengan gugup. Sejak tadi Zena memandangannya dengan tatapan menyelidik. Luna tak tenang menyuap makanannya sendiri.

"Beberapa hari ini lo selalu ngecek loker pagi-pagi," kata Zena. Luna hampir membelalak. Untung saja dia langsung menetralisir ekspresi.

"Ya, wajar kan. Semua murid di sekolah ini juga ngelakuin, kan...." Luna melirik makanannya. Beberapa hari ini dia memang selalu mengecek loker di pagi hari hanya untuk melihat apakah ada surat baru yang berwarna merah. Dia juga selalu mengecek saat pulang sekolah dan tak menemukan satu pun surat lagi.

Zena diam berpikir "Iya, sih. Mungkin gue ngerasa aneh karena lo ke lorong loker beberapa kali nggak ngambil atau nyimpen sesuatu. Cuma buka, diem bentar, terus tutup. Habis itu pergi."

"Lo merhatiin gue?"

"Iya, lo kan pacar gue. Tadinya gue pikir lo mau ketemu cowok lain di lorong loker."

"Itu alasan lo doang, kan?" Luna mengernyit heran. "Lo, ya?"

Zena menaikkan alis.

"Jangan-jangan sebenarnya lo yang ngirim surat itu?" tanyanya sedikit hati-hati. "Be... beberapa kali ada yang naruh surat di loker,"

"Surat?" Zena tertawa. "Ngapain gue buat surat segala? Kurang kerjaan banget." Dia diam sesaat sebelum bicara lagi. "Ada yang naruh surat? Mana. Sini."

Kini, tatapannya menuntut jawaban lebih. Luna salah bicara telah menyebut surat dalam pembahasan ini. Tatapan heran Zena yang sangat alami membuat Luna tak yakin bahwa Zena lah yang mengirim surat itu.

Luna jadi gelagapan. "Ya..., udah gue buang," katanya, terpaksa berbohong.

"Lo buang ke mana?" tanya Zena lagi.

Luna semakin tak bisa berkata-kata. Dia mencari cara agar pembahasan ini segera berakhir. "Ke tempat sampah. Ke mana lagi?"

Zena memandangnya aneh.

"Kenapa...?" tanya Luna hati-hati. Saat Zena menggeleng, Luna akhirnya bisa bernapas dengan lega. "Belakangan lo sering bareng Kak Sere."

"Cemburu, ya?" Zena tersenyum miring. "Itu artinya lo suka beneran sama gue."

Luna tak bisa berkata-kata dan langsung menunduk.

***


thanks for reading!

love,

northaonie

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang