25 - surat kontrak

4.9K 717 53
                                    

Zena memberikannya kertas yang sekarang dia namai sebagai surat perjanjian. Diperhatikannya kertas itu dan Lusi langsung terfokus pada tanda tangan Zena di pihak pertama.

"Tanda tangan?" tanya Lusi.

"Jika diperlukan." Zena mengangkat bahu. "Lo suka yang resmi-resmi, kan?"

Lusi melirik Zena. Akhirnya, Lusi ikut melakukan apa yang cowok itu lakukan. "Gue yang simpan," kata Lusi sambil melipat kertas itu. "Gue harus pulang sekarang."

Zena mengangguk. Saat mereka baru saja berdiri, terdengar suara orang lain dari luar.

"Bunda pulang. Assalamu'alaikum." Itu suara seorang perempuan. Lusi jadi gugup karena berpikir bahwa dia adalah bundanya Zena.

"Nyokap gue kayak anak kecil aja," kata Zena tiba-tiba. Dia mendengkus. "Bunda pulang." Dia mengikuti intonasi bicara bundanya.

"Aduh." Lusi tanpa sadar mengaduh pelan. Tiba-tiba merasa kikuk dengan kehadiran orangtua Zena.

"Nggak usah takut. Nyokap gue nggak gigit, kok." Zena berdiri menarik tangan Lusi dan menggenggamnya. Dia membawanya keluar dari sana dan berhenti tepat di depan Bunda yang baru akan naik ke kamar.

Lusi melotot pada Zena karena cowok itu bukannya segera melepaskan genggamannya, malah justru mempererat. Lusi berusaha menarik, tapi terus gagal.

"Ada tamu?" tanya Bunda pada Zena.

Pandangan Bunda dan Lusi bertemu. Bunda terdiam menatap Lusi dengan begitu serius, membuat Lusi refleks menunduk karena salah tingkah.

Lusi memukul-mukul tangan Zena di tangannya, tapi percuma. Genggaman itu tak akan terlepas. Lusi mati kutu saat Bunda melirik ke bawah, di mana tangan Zena dan Lusi yang menyatu.

"Tante, ini ... nggak kayak yang Tante pikirkan. Aku sama Zena enggak—"

"Nggak apa-apa, kok. Zena memang bandel suka megang-megang anak orang sembarangan," kata Bunda sambil melotot ke arah Zena. "Zena! Lepasin tangan temen kamu."

Zena tak menggubris. Dia mengangkat tangan Lusi. "Bun, dia namanya Lusi. Guru les privat baru Zena."

Bunda menaikkan alisnya. "Guru les privat?"

Zena mengangguk mantap. "Yap."

Bunda beralih ke Lusi yang makin salah tingkah. "Beneran? Temannya Zena di Adi Bakti, ya? Berarti kamu pintar, dong." Bunda mendekati Lusi dan tersenyum tulus kepadanya. Lusi makin dibuat hanya bisa tersenyum salah tingkah.

Bunda menepuk kepalanya dengan lembut. "Senang bisa ketemu sama kamu, Lusiana."

Kemudian Bunda memeluknya erat. Lusi hanya bisa terpaku.

Setelah pelukan yang tak bisa dibilang singkat itu berakhir, Lusi memutuskan untuk segera pulang. Awalnya Bunda mengajaknya makan, tetapi dengan bantuan Zena akhirnya Lusi tak bisa susah payah untuk menolak. Lusi bersyukur Zena mengerti dirinya yang ingin cepat pulang karena Nenek.

Dia dan Zena keluar dari rumah itu. Zena mengambil motornya di garasi. Sementara Lusi masih berdiri di depan rumah Zena, memandang ke dalam sana.

Ada satu hal yang dia sadari.

Zena tak pernah menyebut nama Lusiana, hanya Lusi. Tetapi, Bunda menyebut nama Lusiana. Tidak ada nametag Lusi di baju. Tak ada stau pun murid SMA Adi Bakti yang menggunakan nametag.

Dari mana Bunda tahu nama Lusiana?

Apa mungkin ... Zena sudah mengenalkan dirinya kepada Bunda jauh sebelum pertemuan antara dirinya dengan Bunda terjadi?

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang