20 - kangen

5.3K 752 47
                                    

Zena suka berada di kegelapan sekali pun. Termasuk mematikan lampu kamarnya dan tak ada pencahayaan apa-apa di sana meskipun malam sudah tiba. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, memijat pelipisnya dan berdecak memandangi sebuah nama pada aplikasi hijau itu.

Zena menutup sebelah matanya sembari mengetikkan kata di ponselnya.

Rangrang Pirang

Kangen

Zena terdiam sebelum mengirim. Alisnya naik sebelah, berpikir, "Kenapa gue malah kelihatan kayak alay gini," gumamnya sambil menghapus satu-satu huruf di sana.

Dia menatap ke arah pintu yang diketuk dari luar dan berseru. "Masuk!" Tak lama, seorang asisten rumah tangga muncul di balik pintu.

"Bapak sama Ibu sudah di bawah, Den. Makan malam siap."

Zena mengangguk. "Bi," panggilnya sebelum wanita paruh baya itu pergi.

"Iya, Den?"

"Rama ada?" tanya Zena lagi.

Raut wajah Bibi berubah setelah mendengar pertanyaan itu. "Ada," balasnya, tersenyum.

Zena hanya mengangguk-angguk. Setelah pintu kembali tertutup rapat, cowok itu bangun. Dia terduduk mengacak rambut bagian belakangnya dengan kasar. Tanpa niat, dia berdiri kemudian keluar dari kamar gelapnya.

Dia berhenti di depan kamarnya karena merasa tidak sendirian. Saat menyadari lewat ekor matanya bahwa ada orang lain selain dirinya, dia langsung menoleh. Rama ternyata juga baru saja keluar dari kamar. Berasa dejavu. Keduanya sempat berpandangan singkat dan detik kemudian mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Keduanya tiba di meja makan. Lagi-lagi bersamaan meski saling diam. Bunda hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya itu.

"Bunda heran sama kalian ini," kata Bunda tiba-tiba. "Kamu, Rama. Waktu Zena baru lahir, kamu masih umur tiga tahun. Kamu seneng banget nyium pipi Zena sampe pipinya merah diciumin sama kamu. Sekarang boro-boro nyium pipi, saling sapa aja nggak pernah."

Zena menatap Bunda tak terima. "Udah pada gede. Ya kali, cium-cium pipi segala."

"Kalian waktu SD kan sekamar. Masa gedenya malah kayak musuhan gini," kata Bunda lagi.

"Aku dari dulu emang nggak suka sekamar sama dia," kata Rama. Zena yang mendengar itu terkejut. Tumben Rama membahas tentang dirinya. "Dia suka ngompol. Bahkan sampai kelas 6 SD. Seluruh kamar bau pesingnya dia. Siapa yang tahan?"

"Eh, anjir..." Zena berdecak menatap kakaknya dengan pandangan tak terima. Rama malah makan dengan santai, seolah tak pernah berbicara sebelumnya.

"Zena! Jaga bicara kamu. Suka anjir-anjiran kayak nggak ada bahasa lain aja," teriak Bunda. "Awas aja pakai bahasa yang Bunda nggak suka. Bunda denger, itu bibir kamu Bunda jewer."

Zena menghela napas pasrah. "Salah lagi, deh."

Zena menatap ke sampingnya di mana Rama duduk. Zena jadi teringat tentang mereka dulu. Mereka berdua pernah sekamar dan tempat tidur mereka bertingkat. Semua itu hanya berlangsung sampai Zena kelas 6 SD. Zena tak menyangka Rama membahas hal memalukan itu lagi.

"Dulu suka mimpi lagi pipis, eh tahunya pipis beneran di kasur." Zena terkekeh membayangkan pemikiran di otaknya. "Sekarang mah udah nggak pernah mimpi pipis lagi, tapi mimpi basah."

DUG

Sebuah sendok mendarat di kepala Zena. Lagi-lagi Zena hanya bisa berdecak pasrah.

"Bicara nggak sopan di depan orangtua," kata Ayah. "Kalau makan jangan banyak omong. Makan saja."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang