85 - dia muncul

3.3K 546 104
                                    

"Lo siap, kan?" tanya Rama.

"Jangan bikin gue makin bingung. Sebenarnya siapa yang mau ketemu?" Lusi menatap Rama sambil menggeleng. "Jangan bilang Zena?"

Rama tertawa. "Ngapain gue ngurusin hubungan kalian?"

Lusi berdecak pelan. Dia melirik ke arah taman. "Jadi, dia nunggu di mana?"

"Duduk di mana aja. Nanti dia datang sendiri."

Lusi menatap Rama ragu. Rama meyakinkannya lewat anggukan kecil dan menyuruhnya untuk segera pergi. Lusi keluar dari mobil dan menatap sekeliling sambil menghela napas panjang. Siapa yang akan menemuinya? Sejak Rama memberitahukan hal itu dia tidak punya bayangan siapa pun di kepalanya selain Zena.

Dia duduk di bangku yang terdekat dan taman ini ternyata lumayan ramai. Lusi menunggu dengan bosan dan rasa penasaran. Kemudian, sepasang sepatu berhenti di hadapannya dan tak menyingkir sama sekali. Dia mendongak perlahan.

Rasanya dia tak mampu lagi menopang tubuh. Kehadiran sosok yang selama ini membuatnya selalu menangis kini membuatnya menangis lagi. Lusi menggeleng.

Ini cuma halusinasi, pikirnya menenangkan diri.

Luna Almeera. Berdiri di depannya sambil tersenyum dan bersimbah air mata.

"Nggak percaya, kan? Aku juga nggak percaya bisa berdiri di sini dan ketemu lagi sama kamu," kata Luna.

Rambutnya sebahu, berbeda dari terakhir mereka bertemu. Lusi menghubungi Rama dengan perasaan campur aduk. Dia ingin memastikan bahwa yang di depannya saat ini adalah nyata. Dia tidak ingin semua ini hanyalah mimpi belaka.

"Kak, ini beneran? Jangan bercanda. Gue nggak lagi mimpi, kan?" gumam Lusi dengan suara yang semakin melemah karena tangisan. "Kak...."

"Nggak. Nggak. Gue nggak lagi bercanda."

Lusi menatap Luna yang duduk tepat di sampingnya. "Gimana ceritanya? Mustahil banget."

"Luna bakalan cerita. Sekarang waktunya kalian buat kangen-kangenan, kan?"

Lusi menjauhkan ponselnya dan menatap Luna tak percaya. Luna juga sedang menangis. Lusi tak tahan dan akhirnya memeluk Luna dengan erat.

"Mustahil.... Mustahil," gumam Lusi dengan tangsi yang tersedu-sedu. "Gimana ceritanya?"

"Awalnya, aku berhasil diselamatin sama orang-orang papa." Pelukan mereka terlepas. "Di rumah sakit aku kabur dan ketemu sama dokter yang baik banget." Luna tersenyum sedih. "Aku jelasin apa yang aku alami dan akhirnya Mama, aku manggil dia Mama, bantuin aku."

"Gimana dengan ... papa?" gumam Lusi. Dia sangat membenci papanya, tetapi dia pun merasa kehilangan saat mendengar kabar kecelakaan waktu itu.

"Aku nggak tahu apa masih ... ada." Luna menautkan jemarinya. "Lusi, saat papa nebak yang berdiri di depannya itu aku dan bukan kamu, papa ngancem untuk ngasih tahu keberadaan kamu di mana. Aku nggak mau jawab dan papa ngancem bakalan ngejual aku ke pasar perempuan kalau aku nggak jawab."

Lusi menggeleng tak habis pikir. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Aku nyesel sedih waktu itu."

"Aku juga nggak nyangka papa ngomong gitu ke ... anaknya juga." Luna menggeleng-geleng. "Aku pikir, papa cuma butuh kamu, Lus."

".... Hah?"

Luna tersenyum kecil. "Aku tahu kamu benci banget sama papa. Selama ini aku nggak lihat langsung gimana kehilangan mama. Aku cuma denger cerita. Semuanya cuma cerita. Tujuan aku ketemu papa ... karena aku pengin buktiin dengan mata kepalaku sendiri kalau aku nggak punya papa seorang pembunuh."

DELUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang