Bab 22

11.1K 1K 73
                                    

Terima kasih sudah bantu penuhin challenge. Total vote semua bab 5,400 aku UP next Bab 23.

Buat Fast Access 26-27 soon dikirim.

-----------

Theo

Barangkali ciuman itu memang tidak seharusnya kumulai. Jelas terlihat dari wajah kaget Ega, adik tiriku itu sama sekali tidak menduganya. Menyadari itu tidak membuatku menyesali setiap detik yang kuhabiskan mencecap bibir merah jambunya. Kalau ada yang mesti disesali, mungkin durasinya yang menurutku terlalu pendek. Terlalu pendek...

Ternyata bibir Ega memang semanis rasa yang kubayangkan selama ini ketika memimpikannya. Di dalam mimpiku, Ega selalu menjadi sosok penyayang dan reseptif, terbuka akan sentuhan dan pendekatanku. Kalau aku mencium bibirnya, ia akan membuka bibirnya sedikit, mengundangku untuk menerobos masuk lebih dalam. Ah, sudah lama sejak kali terakhir aku mengkhawatirkan sebutan untuk orang sepertiku, bukan hanya bernafsu pada adiknya sendiri, anaknya juga masih di bawah umur.

Sempat khawatir memiliki penyimpangan seksual, aku mencoba berefleksi, mananya sih dari Ega yang membuatku berhasrat. Apakah itu karena kemudaannya? Karena ia masih di bawah umur? Lega rasanya karena aku tahu bahwa jawabannya sangat sederhana: umur adik tiriku itu sama sekali tidak masuk ke dalam hitungan. Dalam hal ini untungnya Theodore Rahardian masih normal, tidak sedikitpun berminat pada bocah-bocah SMP bau kencur. Bahkan anak-anak SMA sekalipun masih terlalu muda buatku. Buktinya cewek-cewek yang kukencani semuanya seumuran atau bahkan lebih tua.

Kalau bukan soal umur, lalu apa karena dia adikku? Mungkin karena terlarang maka aku jadi tertantang dibuatnya? Lagi-lagi aku mendapati kalau hal tabu ini bukan jawabannya. Berapa kali aku berfantasi seandainya aku bertemu Egalita Manar dalam situasi yang berbeda, di mana dia bukan lagi adik tiriku yang sudah seharusnya aku lindungi dan jaga seperti halnya adik-adik kandungku sendiri. Menghilangkan komplikasi hubungan kami yang rumit, membuatku bebas mengejar untuk memilikinya. Hanya Tuhan yang tahu betapa menggodanya kemungkinan itu buatku: diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu dengan dia yang paling kuinginkan dalam situasi berbeda, lepas dari belitan hubungan dua keluarga yang rumit. Ironis, karena dua tahun lalu doaku pada Tuhan jelas berbeda.

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi soal Egalita.

Resolusiku cukup kuat waktu itu. Aku tahu bahwa hasrat dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda dan tidak semua hasrat bisa diwujudkan. Aku sudah berusaha, Tuhan tahu aku sudah berusaha keras untuk melupakannya.

Yanis dan Galih mungkin heran mengapa di sela semua kesibukan dan kewajibanku di kampus dan rumah, aku masih mengambil banyak kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa sampingan lainnya. Badan Eksekutif Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, panjat tebing, di masing-masing kelompok mahasiswa itu aku terpilih menjadi pengurusnya. Di samping tugas kuliah yang semakin bertambah dan kegiatan ekstrakurikuler, kami juga mengerjakan proyek sampingan yang sudah kupikirkan sejak lama. Aku masih belum tahu bentuk akhir aplikasi yang sedang kami buat itu, namun aku memiliki visi di mana software yang kami buat nanti bisa membantu banyak orang.

Terlalu banyak kegiatan, semua itu agar pikiranku bisa terfokus pada sesuatu selain adik tiriku. Agar aku bisa fokus pada hal lain selain keinginan kuat yang kumiliki untuk bisa segera pulang ke rumah dan ada di dekat Ega.

Tapi, oh tapi... Rasanya seperti menelan pil pahit.

Setiap kali aku pulang ke rumah, rasanya seperti mengisi kembali bahan bakar yang telah habis sampai ke dasarnya. Hanya dengan melihatnya dari dekat, berbicara dengannya mulanya sudah cukup untuk memuaskan dahaga yang kurasakan. Namun seperti obat tidur dan adderall yang akhir-akhir ini semakin sering kukonsumsi, tubuhku sedikit demi sedikit menjadi toleran. Satu-satunya jalan keluar, dosisnya harus ditambah.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now