Bab 66

4.3K 431 127
                                    

Theo

Mala petaka adalah kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan rentetan peristiwa malam itu. Siapa sangka, murid teladan abadi, kakak panutan, kebanggaan orang tua itu menjadi pesakitan dan mesti dijebloskan ke dalam penjara?

Sebenarnya di awal hari suasana hatiku cukup membaik karena sejak kemarin malam, kebutuhan jasmani dan rohaniku telah terpuaskan oleh keberadaan adik tiriku yang manis. Entah berapa lama kami bergulat di atas tempat tidur motel tua yang lantas dilanjutkan di hotel bintang lima. Tak peduli di manapun kami berada, baik itu ranjang reyot atau kasur busa empuk nan mewah, Ega dan aku seperti pusaran angin puyuh yang meluluh-lantakkan satu sama lain. Gundah yang kurasakan karena berada jauh dari Ega, juga proyekku yang tidak kunjung mencapai titik temu, perlahan luruh memudar, digantikan oleh kepuasan demi kepuasan yang hanya bisa kurasakan ketika mengonsumsi pil ternikmat berlabel Egalita Manar. Tidak ada yang bisa menandingi ketinggian yang bisa kucapai ketika tubuh kami menyatu. Mendengarnya menjerit nikmat setelah berkali-kali terpuaskan malam itu membuatku ketagihan. Sesungguhnya, tidak ada sejengkalpun bagian diri Egalita yang tidak seksi untukku. Setiap incinya selalu menggairahkan dan membuatku bernafsu.

Setelah semalaman kulampiaskan hajatku pada tubuh mungil Ega, mengutarakan pikiran kejiku padanya, sebersit penyesalan sempat membayang. Melihatnya menangis sesenggukan membuatku jatuh kasihan. Instingku tentu ingin merengkuh, memeluk dan melindunginya, tapi tentu kami berdua tahu kalau ini hipokrit sebab akulah setan yang membuatnya sedih, membuatnya menangis... Aku tahu tidak sepantasnya adikku mendapatkan perlakuan seperti ini, ketika seharusnya ia kujadikan ratu. Ya, Egalita Manar adalah satu-satunya perempuan yang pantas menempati singgasana, penguasa di dalam hati dan pikiranku. Siang dan malam, hanya dia yang konstan untukku. Bahkan terhadap Dina dan Abel sekalipun jika boleh jujur, aku tak merasakan ketergantungan yang sama. Tapi mengapa, terhadap dia yang paling kubutuhkan, aku justru terus-terusan menyakitinya?

Mengotori wajah Ega, merendahkannya sedemikian rupa hanyalah mekanisme pertahanan diriku untuk membuatnya patuh. Tujuannya hanya satu: aku ingin memanipulasinya agar tetap berada di bawah kendaliku. Aku tak suka melihatnya menangis, tapi jika harus disuruh memilih antara kehilangan dirinya atau memilikinya meski dengan paksaan, maka sudah jelas pilihan mana yang akan kuambil.

Bekas tamparan Ega di pipiku tak terasa sakit, hanya mengagetkanku karena adik kecilku yang manis dan penurut itu berani menunjukkan taringnya. Tapi kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku melihat Ega lepas kendali. Wajahnya yang cantik terlihat gusar dan dipenuhi oleh amarah, walaupun hanya sesaat. Sebelum ini, adik tiriku itu selalu mampu bersikap dewasa. Bahkan ketika aku mendesaknya hingga terpojok, Egalita selalu berhasil menguasai diri, tak pernah mengeluarkan reaksi berlebihan. Kadangkala aku mendapati diriku sendiri bertanya-tanya, apakah minimnya reaksi adik tiriku ini disebabkan karena ia tidak memiliki perasaan apa-apa padaku. Semua perlakuan bejatku padanya, baik itu gila atau jahat, diterimanya tanpa protes berarti, ketika reaksi yang normal mungkin bertolak-belakang. Apakah ini berarti ia tidak menyukaiku seperti aku menyukainya? Apakah ini berarti ia tidak membutuhkanku sebesar aku membutuhkannya?

Sedikit demi sedikit, aku mencoba-coba permainan kecil sepihak berjudul: memancing reaksi Ega. Kadang aku menghukumnya sedikit lebih kejam dari seharusnya, mengekangnya lebih kuat dari yang kurencanakan sebelumnya... Semua itu demi mendapatkan setidaknya sedikit saja... sedikit saja tanda kalau perasaanku untuk Egalita Manar tidak bertepuk sebelah tangan. Sedikit saja reaksi Ega sangat berarti untukku. Reaksi yang diberikannya di atas tempat tidur memang tak pernah mengecewakan, tapi Theo yang tamak ini juga haus akan afeksi yang diberikannya dengan antusiasme tanpa paksaan.

Kalaupun perasaanku berbalas hanya seujung kuku, aku yakin kami berdua akan hidup berbahagia. Aku cukup percaya diri kalau perasaanku yang tulus ini lambat laun akan mampu melunakkan hatinya. Pada akhirnya nanti, ia akan menyadari bahwa di dunia ini, tidak akan ada laki-laki yang mendambanya, memuja dan mencintainya sebesar Theodore Rahardian mencintai Egalita Manar.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now