Bab 51

7.6K 608 170
                                    

Theo

Akhir-akhir ini, segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Yang kumaksud dengan 'sebagaimana mestinya' tentu yang utama dan paling utama adalah keberadaan Egalita, adik tiriku yang manis dan penurut, selalu ada dan setia menungguku di Jakarta saat sesekali aku mampir pulang ke rumah melepas kangen. Sementara 'melepas kangen' di sini tentunya lebih dari sekedar cipika-cipiki pelukan platonis kakak-adik. Kangenku baru bisa hilang kalau kami sudah selesai bergulat setidaknya sebanyak minimal lima ronde. Karena itu, aku lebih senang 'melepas kangen' dengannya di hotel, karena jelas Ega dan aku tidak bisa berbuat sesukanya di rumah yang memiliki terlalu banyak pasang mata.

Selain Egalita, berbagai aspek kehidupanku yang sebelumnya terbengkalai, kini perlahan-lahan mewujud sempurna. Nilai-nilai kuliahku membaik, meskipun itu artinya aku harus bersikap realistis dan melepas semua kewajiban yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, seperti tetek-bengek kegiatan ekstra-kurikuler kampus. Sejak dulu aku tidak pernah peduli apa kata orang, karena itu kekecewaan semua anggota organisasinya tidak sedikitpun menggangguku, meski aku harus memberikan alasan yang meyakinkan agar reputasiku masih terjaga dengan baik. Di saat-saat seperti ini, kartu ibu yang sakit-sakitan dan ayah yang super sibuk biasanya mampu membuat siapapun berempati. Apakah hal ini berarti aku adalah seorang sosiopat? Mungkin, atau lebih tepatnya aji mumpung. Segala hal adalah saranaku mencapai tujuan. Dosen-dosen memberi keringanan dan satu persatu urusan kuliahku terselesaikan, nilai-nilaiku bisa dikatrol dengan mudah.

Hidup ini indah.

Selama hampir 22 tahun usiaku, ini pertama kalinya hidup terasa begitu indah.

Segala sesuatunya berjalan lancar, tidurku nyenyak, pekerjaan dan pendidikan berlangsung beriringan tanpa rintangan berarti. Urusan rumah? Serahkan saja pada adik tiriku yang manis dan terampil. Seperti janjinya dulu, tugas-tugas itu diambil alihnya secara alami. Beberapa kali aku mengecek hanya untuk mendapati bahwa semua telah diurusnya dengan baik. Bayar listrik, air, internet, gaji Mbok dan sopir, menu makan mingguan, hingga jadwal pulang mama ke rumah. Tanpa sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya, Egalita menerima seluruh beban itu, menjalankan roda rumah tangga Rahardian dengan lancar. Sejak lama aku tahu kalau Egalita adalah tambal untuk terumbuku yang terbuka. Kami berdua selalu saling mendukung. Saling melengkapi.

Suatu saat nanti, ketika Ega sudah lulus kuliah, aku bermimpi ingin membelikannya rumah sendiri sebagai hadiah. Mungkin ini alam bawah sadarku yang ingin memisahkan orang yang paling kuimpikan, baik secara mental maupun fisik dari keluargaku yang disfungsional. Aku tahu Ega dan adik kembarku saling menyayangi, tapi keluarga besar kami bukanlah perkara mudah. Konflik kecil di sana-sini terus bermunculan karena status Ega yang anak dari istri sirih papa. Aku ingin melindunginya dari semua itu. Tapi itu pembicaraan untuk lain waktu. Kami berdua masih sangat muda, saat ini aku sudah cukup puas bisa memilikinya sekali-sekali, dan di sisa waktu lainnya harus membagi perhatiannya dengan saudara kami, teman-temannya, sekolahnya dan pekerjaanku sendiri.

Ah Egalitaku sayang, pujaan hati kakak...

Kalau saja dia tahu, kebahagiaan dan kesuksesanku ini semua berakar dari keberadaannya di sisiku. Dalam benakku, sangat mudah untuk melihat hubungan sebab-akibatnya, terutama setelah mendapati otakku yang mampu berpikir jernih karena kini tidak perlu lagi susah-payah menyembunyikan hasrat dan gairahku kepadanya. Segala lajur-lajur bahasa pemrograman itu, konsep-konsep simulatornya, proyek-proyek perdanaku bersama Galih dan Yanis, terasa memiliki jiwa, semua karena kebutuhan primerku telah tersuplai dengan baik oleh Ega.

Mungkin akan ada banyak yang terkejut mengetahui bahwa bukan uang yang menjadi motivasi utamaku menciptakan program demi program aplikasi itu. Aku selalu pandai menyimpan isi hatiku, menunjukkan apa yang lawan bicaraku ingin lihat. Kepada para penyandang dana, aku membiarkan mereka melihat potensi gemerincing rupiah yang bisa mereka dapatkan. Sedangkan untuk diriku sendiri, motifnya bukan uang. Tidak pernah uang (Walaupun perlu kuakui rasanya menyenangkan juga bisa menghabiskan beberapa juta di sini atau di sana tanpa harus menghadapi konsekuensi berarti).

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now