Bab 8

18.4K 1.3K 97
                                    

Egalita

Hari ini adalah hari yang spesial, karena setelah enam bulan sejak pertemuan pertama keluarga kami, akhirnya hari pernikahan Henri Rahardian dengan Rhea Abderrahman akan dilangsungkan. Meskipun Henri beragama Kristen, namun demi untuk menikahi ibuku, dia menjadi mualaf dan melangsungkan akad nikah secara Islam. Karena ini bukan perkawinan pertama mereka, juga karena ibu ingin menyembunyikan fakta bahwa ia akan menjadi istri kedua (sirih) seseorang dari mata publik, maka pestanya dilangsungkan secara sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat yang diundang dari kedua belah pihak.

Selama enam bulan terakhir, bukan hanya ibuku yang menemukan pendamping baru, akupun seperti menemukan belahan jiwaku.

Abel dan Dina, mereka adalah saudara kembar paling menggemaskan, sebagai individu mereka sangat berbeda, namun pada saat yang bersamaan, begitu serupa. Abel pendiam sementara Dina lebih cerewet. Walau demikian, bukan berarti Abel tidak memiliki pribadi yang hangat. Mereka berdua mengorbitku, Dina secara terang-terangan sementara Abel kadang menggerutu jika diikut-sertakan oleh Dina untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama namun tetap dilakukannya. Setelah akhir pekan pertama yang kuhabiskan di rumah keluarga Rahardian, dengan cepat kami menjadi akrab. Kalau Dina melihatku sebagai sosok kakak perempuan, maka Abel lebih memperlakukan aku sebagai teman melakukan hal-hal nerdy yang tidak disukai oleh Dina.

Sedikit demi sedikit aku mempelajari bagaimana kondisi Firda membawa pengaruh pada suasana hati mereka. Sebulan sekali mereka akan berkunjung ke pusat rehabilitasi bersama Theo, namun setiap kali mereka selalu kecewa oleh ketiadaan respon berarti yang diberikan oleh Firda. Pengaruh obat membuatnya berjarak dan nyaris selalu mengantuk, bukan kondisi ideal untuk sebuah pertemuan keluarga.

Dari interaksi kami yang cukup intens, aku baru mempelajari kalau Dina dan Abel secara praktis dibesarkan oleh Theo dan asisten rumah tangga mereka, karena absennya Om Henri. Dalam enam bulan terakhir, hanya beberapa kali aku bertemu dengannya, padahal aku menghabiskan hampir setiap akhir pekan menginap di rumah keluarga Rahardian.

Theo adalah mesin penggerak keluarga ini, tidak melebih-lebihkan rasanya kalau kukatakan bahwa tanpa keberadaan Theo, keluarga Rahardian bisa porak-poranda. Theo mengelola keuangan keluarga—memberikan uang saku, membayar SPP dan uang buku, mebayar pengeluaran bulanan rumah tangga, membayar gaji pembantu—, mengatur jadwal ekstrakurikuler Dian dan Abel, membantu mengerjakan PR, hadir di setiap pertandingan dan pertunjukan sekolah, mengambil laporan hasil belajar, menjadi bad cop sekaligus good cop kalau adik kembarnya berbuat nakal. Semua itu dilakukan Theo tanpa mengeluh sambil menyiapkan prosesi penerimaan mahasiswa barunya sendiri juga semester pertamanya berkuliah.

Hebatnya, meskipun memiliki semua tekanan itu, Theo selalu memiliki kontrol diri yang luar biasa. Pembawaannya tenang dan kalem, Theo menyelesaikan semua masalah, satu demi satu tanpa harus kehilangan kesabaran. Dia adalah inspirasiku, manusia idealku. Jika aku dewasa kelak, aku ingin jadi seperti Theo.

Theo, Abel dan Dina adalah bonus terindah dan tak terduga dari penyatuan kedua keluarga ini.

Mengingat bahwa kondisi ekonomi ibu bukanlah yang terbaik, juga perangainya yang kadang meledak-ledak, aku sempat takut kalau perkawinan mereka sampai batal. Sebulan setelah makan malam pertama dua keluarga kami, ibuku yang dramatis di hadapan kamera juga di belakang kamera, pulang ke rumah mencak-mencak. Sambil berkacak pinggang, ia memberitahuku kalau dia putus dengan Om Henri dan melarangku untuk datang ke rumah mereka lagi.

"Ibu bilang aku nggak boleh ke sana lagi," ujarku dengan suara bergetar di telepon pada Dina.

Kudengar tangisan Dina di seberang, gadis itu berbicara pada seseorang yang turut mendengarkan. "Katanya nggak dibolehin Tante Rhea ke sini kak."

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now