Bab 15

13.3K 1K 53
                                    

Theo

"Masuk," undangku meminta Egalita masuk ke dalam kamar.

Pintu berderit terbuka sedikit, wajahnya menyembul lalu disusul oleh tubuhnya yang kini seluruhnya masuk ke dalam. Ega menutup pintu kamar perlahan, berjalan mendekat ke arah tempat tidurku. Seperti biasa Egalita menarik kursi lalu duduk dan menatap padaku dengan kedua bola matanya yang bundar, seolah aku adalah guru dan ia adalah murid yang siap menerima wejangan.

Mengamati Ega yang tidak memiliki firasat atau rasa takut, masuk begitu saja ke kamarku, mengingatkanku pada idiom 'perawan di sarang penyamun'. Ha. Seandanya saja Egalita tahu kalau pikiran lelakiku akhir-akhir ini lebih dipenuhi oleh hal-hal cabul padanya ketimbang murni perasaan seorang kakak pada adiknya.

Sejujurnya kewajibanku untuk berada di Bandung membuatku bisa lebih mengontrol diri. Jarak kami membuatku memiliki perspektif baru. Kebahagiaan Egalita adalah yang utama. Ia menikmati perannya sebagai kakak bagi Dina dan Abel sekaligus adik, maka yang bisa kuberikan untuknya sebagai hadiah tentunya bersikap seperti seorang kakak. Gadis itu sangat polos. Terlalu polos. Kami adalah produk-produk keluarga disfungsional dan obsesiku pada Egalita mungkin berakar pada pengetahuanku dan kekagumanku soal apa yang telah dialaminya dan dilaluinya selama ini. Kami berdua adalah survivor keadaan.

Di dalam diri Ega, aku mengenali diriku.

Karena itu... aku bersyukur hanya pulang seminggu sekali karena dengan begitu aku bisa menghindari berada di sisi adik tiriku itu terlalu sering dan bisa (berusaha) menjadi sosok kakak yang paling dibutuhkan olehnya.

"Theo gimana kuliahnya?" tanya Egalita sambil memutar-mutar kursinya ke kiri dan ke kanan.

"Baik," jawabku sambil meletakkan majalah finansial yang sejak tadi kubaca sambil menghitung waktu menunggu Egalita datang berkunjung ke kamarku seperti yang biasa ia lakukan setiap kali aku pulang ke rumah. "Sibuk," tambahku.

"Gimana sekolahmu? Ada lomba debat lagi nggak?"

"Sama, sibuk. Ega kan udah kelas sembilan sekarang. Jadi udah fokus soal ujian, banyak tes-tes pra ujian. Kalau soal debat... Ega kayaknya nggak akan ikutan lomba lagi."

"Kenapa?" Aku tidak tahu soal ini dan tiba-tiba diliputi oleh rasa penasaran mengapa Ega tidak mau ikut lomba lagi. Kalau alasannya karena kesibukan persiapan ujian, aku bisa mengerti.

"Nggak apa-apa," jawab Egalita sambil menggosok bagian bawah hidungnya, menghindari kontak mata denganku. "Udah tahun terakhir. Ega masih bantu-bantu anak-anak tahun ajaran bawah untuk latihan persiapan kok."

"Kalau gitu nanti masuk SMA kamu bisa mulai lagi. Aku dengar di universitas juga ada kelompok ekstrakurikuler debat dan banyak sekali perlumbaan yang bisa mereka ikuti," kataku mengetes permukaan airnya. Aku kaget ketika mendapati Egalita menggeleng pelan.

"Apa maksudnya tuh?" desakku.

"Ega udah nggak mau ikut debat lagi."

"Tapi kenapa?"

"Enggak papa," jawab gadis itu sambil membuang muka.

Seketika aku bangkit dari tempat tidur, kutarik kursinya hingga rodanya menggelinding mendekat dan mau tidak mau Egalita menghadap aku. Ah ya, jauh lebih baik. Aku tidak suka jika ia merasa harus menutupi perasaannya dariku. Egalita itu paling cantik dan menarik ketika ia bersikap terbuka apa adanya dan mempercayaiku seutuhnya.

"Jangan bohong. Kenapa kamu mau berhenti?" desakku lagi.

Gadis itu menunduk, bibirnya mencebik. Matanya masih tidak berani menatapku, sampai akhirnya aku tidak tahan dan meraih dagunya, memaksa Ega mendongak. Ya ampun, mengapa bibirnya seranum ini sih? Kuatkan aku, Tuhan.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang