Bab 62

4.4K 522 226
                                    

Vote Bab 61 = 300 

Vote Bab 62 = 200

Vote Bab 52 = 300

Aku up Bab 63

MAKASIH GENGS, YOU DABEST

+++

Bab 62

Theo

Jarak yang mesti kutempuh dalam perjalanan pulang semakin pendek, tapi rasa tidak tenang itu justru semakin menguat. Jika ada yang bertanya padaku, mengapa sebelum meeting penting esok lusa, aku justru melakukan perjalanan darat jarak jauh alih-alih beristirahat, maka salahkan saja adik tiriku yang nakal. Sejak mengutarakan keinginannya menonton konser seminggu lalu, adikku tidak membantah dan justru bersikap manis. Terlalu manis dan justru membuat sisi pencuriga Theodore Rahardian terbangun.

Selama ini Ega tidak pernah memberikan alasan untuk aku mencurigainya. Selain ciuman yang dilakukannya dengan penyanyi-latar-entah-siapa-namanya hampir dua tahun lalu itu, sebenarnya Ega tidak pernah membangkang ataupun melawan kehendakku secara berlebihan. Tapi semua itu tidak cukup untuk sepenuhnya mematikan rasa curiga yang selalu saja membayangi pikiranku. Apa penyebabnya kalau bukan karena aku teramat-sangat takut kehilangan Ega. Aku tahu kalau ini adalah sebuah kegilaan, karena Ega adalah anak baik yang tak pernah sekalipun memberiku alasan untuk curiga padanya. Tapi akal sehatku tak pernah bisa bekerja sempurna kalau itu soal adik tiriku. Terhadap kenyataan ini, aku sudah lama berdamai dan menerima kalau reaksiku akan segala sesuatu mengenai Egalita Manar tidak akan pernah berada di dalam kategori normal.

Ketika ia sakit dan jauh dari jangkauanku, rasanya duniaku berhenti berputar. Aku tidak ingin merasakan ketakutan itu lagi, bahkan membayangkannya pun membuat keringat dingin keluar. Nonton konser, katanya. Siapa yang tahu apa saja yang bisa menimpanya kalau aku tidak ada di sana untuk mengawasi. Siapa yang tahu apa yang bakal terjadi kalau minumannya diberi obat diam-diam, atau dompetnya dicopet orang, atau pantatnya atau dadanya dicubit orang mesum. Hanya sekelompok cewek-cewek SMA, tentu sasaran mudah buat orang-orang brengsek mabuk.

Sialan.

Kenapa jalanan macet seperti ini ketika aku butuh cepat sampai ke rumah?

Bukannya aku curiga Ega akan nekad berangkat nonton tanpa seizinku atau apa, tapi dorongan kuat untuk memastikannya menurut mengalahkan akal sehatku. Bisa saja aku menelepon dan meminta panggilan video, tapi apa yang bisa kulakukan kalau seandainya dia nekad? Aku hanya akan bisa marah, tapi hal itu tidak akan mampu mencegahnya berbuat nekad kalau ia mau. Lebih aman kalau aku langsung pulang ke rumah. Peduli setan dengan apa yang akan dipikirkan oleh Ega dan penghuni rumah kami saat melihatku pulang lebih awal nanti, hanya untuk pergi lagi tak lama kemudian.

Kalau boleh jujur, ini bukan waktunya membiarkan pikiranku terbelah seperti ini. Banyak aspek dalam perjanjianku dengan penyandang dana proyek yang mesti dibenahi. Setelah permintaan mereka menjadi sponsor tunggal aku turuti, tuntutan mereka seperti tidak ada habisnya. Setiap kali, tanggal resmi launching mesti diundur, karena hasil tes proyeksinya tidak cukup menguntungkan, tidak cukup menjanjikan buat mereka. Uang yang mereka alokasikan memang bisa diakses secara terbatas dan bertahap, termasuk juga gaji untukku, Galih dan Yanis. Mungkin strategi dan pondasi yang kuambil keliru, tetapi keinginan untuk segera mencapai level kesuksesan yang telah kutetapkan sendiri mengalahkan idealisme.

Hutang-hutang papa tidak akan bisa hilang dengan sendirinya. Belum mulut-mulut lapar keluarga besar kami yang mesti diberi 'makan'.

Seperti mendapatkan tanda, panggilan whatsapp berbunyi di ponselku. Yanis.

"Halo Nis," sapaku cepat setelah menggeser tombolnya ke kanan, membiarkan ponselku terpasang di handsfree.

"Bro, kamu di mana ini?" tanya Yanis.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now