Bab 71

3.3K 497 74
                                    

Egalita

Sekuat apapun aku mencoba untuk bersikap tenang, tetap saja gugup yang meluap itu memengaruhi apa-apa saja yang ingin kusiapkan sebelum keberangkatan kami menjemput kakak. Tak bisa kupercaya, rasanya absurd, sama seperti ketika ia dibawa masuk ke balik pintu pengadilan seusai putusan dijatuhkan. Hari ini Theo akan dibebaskan dan kembali bersama kami.

Setelah mendengar kabar dari Abel itu kemarin, aku buru-buru memberitahu Mbok Mini dan Dina, kami merancang menu masakan kesukaan Theo di rumah. Kamarnya telah dibersihkan, meskipun sebenarnya masih tetap rapi karena tak ada yang menggunakan selama kakak tidak ada. Ini Theo, cuma Theo kan? Entah mengapa rasanya gugup mendapati bahwa mulai besok Theo akan kembali bersama kami.

Bersama-sama kami berangkat ke penjara. Aku duduk semobil bersama ibu, Dina, Kak Mutia dan sopir, sementara Kak Yanis, Abel, dan Valdy naik mobil terpisah. Sayangnya, Om Henri, seperti yang sudah-sudah, bahkan tak merasa perlu untuk meluangkan waktunya menjamput kepulangan Theo. Setidaknya kami bersikap kalau ketidak-hadiran lelaki itu di hari spesial ini tidak berarti apapun.

Aku berharap semoga Theo tidak bersedih dan tetap merasa senang karena mendapati kami, keluarganya peduli dan bersuka cita menyambut kepulangannya.

Sepanjang jalan aku mencoba tidak memperhatikan monolog ibuku yang bercerita soal proyek terakhirnya, pada siapapun yang mau mendengar. Kak Mutia memang terlalu sopan, ia memerhatikan sungguh-sungguh perkataan ibuku, memberikan tanggapan yang terdengar tulus. Kepalaku kini penuh terisi oleh berbagai skenario adegan yang mungkin terjadi ketika akhirnya aku bertemu lagi dengan kakak tiriku. Sembilan bulan lamanya sejak kami berpisah, sejak itu kakak tidak menginginkan lagi kontak dalam bentuk apapun. Semua suratku tak ada yang dibalasnya atau bahkan dibacanya. Setiap kali aku datang bersama Dina dan Abel ke penjara, tak sekalipun Theo membiarkanku masuk ke dalam untuk menjenguk. Ketika aku bertanya pada kedua adik kembarku apakah Theo menanyakan soal aku, mereka bilang: tidak.

Lebih dari semua kekhawatiran bodoh yang bersumber dari rasa inferiorku sendiri, aku juga mengkhawatirkan kondisi kakak. Senyaman apapun, semanusiawi apapun, penjara tetap bukan tempat bermain kanak-kanak. Bukan masalah batas level nyaman yang bisa ditanggung kakak yang membuatku khawatir, karena pada dasarnya aku mengenal Theo dan tahu pasti kalau ia bukan lelaki ringkih. Ia bisa menyesuaikan diri di manapun ia berada, baik itu petak kos-kosan sempit atau hotel bintang lama, semua itu tak membuatnya rikuh.

Sedikit banyak berbicara dengan psiolog belakangan ini, aku tahu bahwa peristiwa traumatis seperti ini bisa memengaruhi kesehatan psikisnya. Aku hanya bisa berharap Theo memiliki seseorang yang ia percaya untuk berkeluh kesah. Bahkan seandainya orang itu bukan aku lagi.

***

Kami berdiri berjajar di luar pintu tempat para napi yang mendapatkan pengampunan satu persatu dibebaskan. Keluarga mereka tampak bahagia ketika berkumpul lagi langsung beriringan meninggalkan tempat ini seolah tak ingin mengingat kenangan buruk yang mudah diasosiasikan dengan tempat ini.

Di mana Theo?

Mengapa ia tak segera keluar? Abel tidak salah mendapatkan informasi kan? Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya napi yang dibebaskan, dentum jantungku makin kencang, penuh antisipasi. Setiap kali gerendel pintunya dibuka, setiap kali itu pula telinga dan berdiriku menegak kaget, mengira kalau Theolah yang akan berjalan keluar.

Kami masih harus menunggu sekitar dua puluh menit lagi sebelum akhirnya pintunya terbuka dan seorang penjaga bergerak ke samping menyilakan seseorang berjalan keluar melewatinya.

Theodore...

Hal pertama yang terlintas dalam benakku: cambangnya yang tumbuh memanjang, dipangkas namun masih menyisakan garis kehitaman di sepanjang dagu dan bibirnya. Selama ini Theo selalu menyukai rupa bersih, sehingga hampir selalu mencukur besih rambut di wajahnya. Penampilan baru ini terlihat asing, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Kemeja yang dipakainya terlihat rapi, begitu juga celana jeans gelap itu, membuat kakak tiriku ini terlihat seperti datang dari kegiatan ala kadarnya seperti nge-mall atau kuliah. Rambutnya sedikit gondrong, ikal, disibak ke belakang. Sesuatu di wajahnya membuat raut kakak terlihat lebih keras, seolah ia telah melihat banyak hal yang tidak seharusnya dilihat oleh orang seumuran.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now