Bab 19

11.6K 1.1K 78
                                    

Egalita

Meskipun rasanya ingin segera pergi dari tempat ini, aku masih harus menahan diri, diam di lokasi yang sudah kujanjikan pada Theo. Selama lima belas menit aku berdiri bersandar ke tiang listrik, celingak-celinguk mencari sosok kakakku dan selama itu juga tatapan mata orang-orang di sekitarku terasa asing dan mengganggu. Banyak cowok-cowok dan bapak-bapak nongkrong di sekitar tower. Beberapa kali mataku melirik ke arah mereka, berusaha mencari tahu apakah mereka kini tengah menertawakanku dan celana putihku yang bernoda merah. Mungkin hanya perasaanku saja, tiap detiknya terasa sangat lama dan menyiksa.

Rasa malu dan takut bercampur menjadi satu. Dari semua hari di mana aku bisa mendapatkan menstruasi untuk kali pertama, kenapa justru hari ini datangnya? Jauh dari rumah, Theo dan semua teman-temannya juga ada bersamaku, malam tahun baru pula... Aku bukan anak lugu yang tidak mengerti tentang cara kerja alat reproduksi wanita, semua teorinya ada di dalam kepalaku. Namun membaca buku edukasi dan melihat dengan mata kepala sendiri noda merah di celana adalah dua hal yang berbeda.

Ketika akhirnya aku melihat kakakku berjalan mendekat, rasanya kuingin menghambur ke dalam pelukannya, berharap Theo bisa menghilangkan semua perasaan aneh itu, menjadi perisai yang melindungiku dari semua hal buruk.

"Kak," panggilku sambil melambaikan tangan.

Theo tidak menjawab dan hanya menunjukk ke arahku, mengode agar aku berdiam di tempatku berdiri, sementara ia datang menghampiri.

"Kamu nggak papa?" tanyanya lalu meraih dahiku, merabanya namun tidak mendapati apapun di luar kebiasaan.

Aku menggeleng, "Nggak papa."

Matanya merambat turun ke arah celanaku, lalu buru-buru kembali menatapku. Theo melepas jaketnya, melingkarkannya ke pinggangku lalu mengikat lengan jaketnya di sana. Tidak cukup erat, namun mampu menahan agar jaketnya diam di tempat dan menutupi bagian pantat.

"Mau balik ke villa aja?" tanya Theo lembut.

Merasa lega karena kakakku kini ada di sini bersamaku, perutku yang terasa tegang kini terasa mengendur. Sebagai gantinya, rasa mulas yang sempat hilang itu kini muncul kembali.

Theo menggamit tanganku lalu mengeluarkan ponselnya.

"Mau nelpon siapa?" tanyaku.

"Mutia sama Dina, ngasih tahu—"

"Jangan kak!" sergahku sambil menepis tangannya yang menggenggam ponsel sebelum Theo sempat menyalakannya.

Menatapku beberapa lama, entah ekspresi apa yang ia dapati di sana, namun Theo bakal gigit jari kalau dia pikir aku akan dengan mudah bisa memberitahunya apa yang kini tengah berkecamuk di dalam kepalaku. Haruskah aku mengejanya satu persatu, kata demi kata? Tidak bisakah ia menjadi manusia yang lebih sensitif soal adik perempuannya yang baru mendapatkan menstruasi pertama kali?

"Biar Ega pulang sendiri aja kalau gitu," ujarku sambil berusaha menarik lepas tanganku dari genggamannya. Theo masih bergeming, tidak sedikitpun mengubah posisinya. Tangannya masih meremasku, sementara matanya menatapku beberapa lama.

Akhirnya Theo mengangguk, masih bergandengan, ia memimpin jalan kami menyusuri setapak, menjauhi lapangan alun-alun kota berlawanan arus dengan orang-orang yang baru datang.

***

Perjalanan balik ke villa terasa sedikit lebih lama buatku. Mungkin perpaduan antara rasa mulas dan lelah yang tiba-tiba kurasakan. Mendapatkan haid pertama kali, tembus hingga ke celana dan diantar pulang oleh Theo seperti ini sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Sambil meliriknya, kudapati kakak berjalan pelan di sampingku, masih menggandeng tangan, menatap lurus ke depan. Untungnya ia tidak mengatakan apapun, sebab aku bisa mati berdiri karena malu.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now