Bab 69

3.5K 461 37
                                    

Bab 69

Egalita

Aku dan Abel saling berpandangan, sementara Dina memegang keliman kaos yang kupakai. Kami mendengar pertengkaran hebat antara ibuku dan Om Henri di ruang tengah. Kalau informasi yang kudapat ini benar, maka keluarga kami berada di ambang kebangkrutan. Om Henri memiliki hutang menggunung yang jumlahnya ratusan milyar. Berbagai asetnya dipakai sebagai jaminan untuk sebagian besar hutang-hutang itu. Ibuku mengamuk karena sebelumnya tidak tahu-menahu soal ini, dan kaget ketika ayah tiriku itu memintanya untuk meminjamkan sertifikat rumah yang dibelikan oleh Om Henri untuk membantunya membayar cicilan hutang.

"Duit segitu buat apa mas?"

"Ya buat makan, buat apa lagi? Semua kebutuhan kita, biaya ke luar negeri, buat kamu belanja duit dari mana, belum urusan rumah, ibunya anak-anak..."

"Ya, dan jangan lupa juga uang yang kamu beri buat donasi rutin bulanan ke keluarga besar kamu selama ini," sergah ibuku. Mendengarnya, aku mengernyit tak enak.

"Jangan bawa-bawa mereka," ujar Om Henri.

Tidak mau mengalah, ibuku masih tetap mengejar, "Berapa itu mas keluarnya per bulan? Selama ini aku diam, tapi kalau sudah begini memang siapa yang kena getahnya? Uang makan kita berapa sih? Nggak sampai puluhan juta kan per bulan? Mas, kamu punya keluarga lain ya di luar sana?"

Ayah tiriku berbalik cepat menahan amarah, melihat sekilas ke arah kami berusaha menahan diri. "Jangan ngomong macam-macam Rhe. Ada anak-anak."

"Memangnya kenapa? Anak-anak sudah besar mas. Kalau misalnya kamu dan aku mati besok, siapa yang mesti menanggung hutang sebesar itu kalau bukan mereka? Mereka berhak tahu, ke mana larinya uang itu sampai kamu harus terus berhutang?"

"Lalu ke mana larinya tiga puluh milyar yang kuberikan untuk modal film gagalmu itu?"

Buru-buru berdiri, aku mengajak Dina dan Abel menuju ke halaman belakang dengan alasan membersihkan kandang burung peliharaan Om Henri.

"Bantuin Ega yuk," ajakku.

Untung saja mereka menurut. Bertiga, kami berjalan beriringan dan mulai melakukan tugas-tugas memberi pakan dan membersihkan kandang. Mbok Mini yang sepertinya juga peka akan situasi di ruang tengah, bergabung bersama kami, menghidangkan rujak buah sebagai camilan. Suasananya sedikit muram, tapi aku berusaha membuatnya jadi lebih ceria.

Suara porselen yang pecah karena dibanting membuat kami terkesiap. Abel menatapku sambil memegang selang di tangannya. Mata Dina berkaca-kaca lagi, menoleh tanpa suara ke arahku. Biar bagaimanapun aku masih kakak nomor dua yang harus bisa diandalkan dalam suasana seperti ini.

"Kalian diam di sini dulu ya," beritahuku pada adik-adikku lalu berlari berjingkat ke ruang tengah. Om Henri tidak tampak di manapun, suara deru mobilnya terdengar meninggalkan halaman rumah kami. Ibuku duduk sendirian di meja makan, menelungkup sambil menangis tersedu. Aku mengamati sekeliling dan mendapati pecahan piring dan gelas di lantai.

Aku buru-buru mengambil sapu dan membersihkan pecahannya sebisaku lalu mengambilkan segelas air hangat untuk ibu.

"Buk," sapaku lembut sambil duduk di sampingnya, mengelus punggung perempuan yang telah melahirkanku itu. "Kenapa sih?"

"Sama saja, semua lelaki di dunia ini sama saja!" tangisnya.

Maskara yang dipakai oleh ibu sedikit luntur karena air mata, membuat bagian bawah matanya terlihat kehitaman. Wajahnya memerah, ibu terlihat letih dan kalah. Mengingat sisi dramatis ibu, aku sebenarnya tak terlalu khawatir dengan kondisinya sekarang. Aku sudah pernah melihat kondisi ibu yang jauh lebih buruk lagi: bertahun-tahun lalu, ketika ibu bercerai dengan ayah kandungku. Tetapi ketenangan itu tak bertahan lama, terutama setelah aku mendengar raungannya.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now