Bab 59

4.7K 538 153
                                    

Theo

Pembuluh darah di keningku kini mungkin bertonjolan karena berusaha menahan amarah. "Berapa hutangnya, Pa?" tanyaku pada papa di telepon sambil mengawasi para penagih hutang yang kini duduk seperti preman di ruang tamu rumah kami. "Seratus tiga puluh milyar?" tanyaku kaget. Sejak kapan papa memiliki hutang sebanyak itu, ke mana larinya uang itu, dan mengapa ia tidak ada di sini untuk menghadapi mereka layaknya seorang gentleman? Bagaimana kalau alih-alih aku, justru Dina atau Egalita yang membukakan pintunya? Darahku mendidih membayangkan semua kemungkinan itu.

Jawaban papa sama sekali tidak memuaskan, namun kira-kira aku sudah bisa menarik benang merahnya. Pengetatan anggaran dan pengawasan di kantornya sejak dirjen baru ditunjuk akhirnya berimbas pada pemasukan tambahannya. Akibatnya papa kehilangan banyak sumber uang sampingan yang tentu jauh lebih besar dari gaji pokok dan tunjangan resminya. Hal ini tidak membuatnya mengubah gaya hidup, setidaknya itu yang kuamati selama setahun terakhir. Ia masih senang bepergian ala kehidupan jet set, melanglang buana untuk berbagai perjalanan dinas dan mungkin menemui banyak simpanannya. Belum lagi sikapnya yang masih saja royal pada keluarga besar kami, yang menempel papa seperti lintah, terus meminta suplai pemasukan padahal mencacinya di belakang. Masih belum cukup melihat semua kerusakan ini, papa juga gemar berjudi. Hobi itu tidak menjadi masalah sebelumnya, namun kini ketika papa melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan pemasukan tambahan, rasa ketagihannya itu berkembang menjadi sesuatu yang tak bisa dikontrol lagi. Satu kekalahan disusul kekalahan lainnya, membuat para penagih hutang itu kini datang mengetuk pintu rumah kami.

Darahku berdesir, amarahku rasanya siap meledak kapan saja. Hal yang paling aku takutkan akhirnya terjadi. Mungkin alam bawah sadarku yang sebenarnya telah berusaha menyiapkan diriku dan keluarga kami akan datangnya hari ini. Sudah lama aku tahu kalau keluarga kami adalah potret nyata sebuah keluarga disfungsional, tapi siapa yang menyangka kalau kami sudah mencapai level clusterfuck tertinggi, yang kemungkinan tak bisa diselamatkan lagi. Urgensi untuk bisa segera mandiri dan membangun bisnisku rupanya sebagian bersumber dari situasi menyedihkan ini. Aku ingin lepas dari kontrol papa, bayang-bayangnya dan segera menunjukkan kapasitasku sebagai kepala keluarga, menegakkan aturan yang semua orang harus mengikutinya tanpa kecuali.

Ketika aku kembali ke ruang tamu untuk menghadapi rombongan pria bertubuh gempal dan bertato itu, aku membatin bahwa setidaknya Dina sedang tidak ada di rumah, sehingga ia tidak perlu menyaksikan ini semua. Setidaknya Egalita dan Abel sedang berada di Palembang, sehingga khawatirku berkurang.

Selesai menenangkan dengan memasang wajah Theodore Rahardian paling ramah, memberi janji surga pada mereka, serta mengangguk-angguk menahan diri mendengarkan ancaman mereka, aku menarik napas dalam-dalam. Sumpah serapah yang terlontar dari mulut mereka kutelan bulat-bulat, masuk dari telinga kiri keluar ke telinga kanan. Ya ya terserah. Cepat minggat sana. Menatap mobil van mereka meninggalkan halaman rumah kami, aku menyadari kalau sakit kepalaku perlahan-lahan muncul kembali.

Di mana Egalita ketika aku membutuhkannya seperti sekarang ini? Kalau saja ia ada di sini, tentu aku akan merasa jauh lebih tenang. Jarak yang membentang dan tak dapat kuseberangi secara fisik ini membuatku gugup. Tubuh, jiwa dan pikiranku membutuhkan hadirnya di dekatku.

Aku mesti menahan diri sekuat tenaga untuk tidak meneleponnya dan memaksa adik tiriku itu pulang ke rumah sekarang juga. Semua kegilaan di dalam keluargaku ini bukanlah kesalahan Egalita, lalu mengapa aku menjadikan adikku itu sebagai penopang untuk setiap runtuhnya?

***

Berapa kalipun aku mencoba menelepon tidak ada yang mengangkat, sekali, dua kali... Ketika panggilanku masuk untuk yang kesekian kalinya tanpa ada jawaban, rasa kesal itu perlahan berubah menjadi rasa khawatir. Ke mana Ega, apa yang sedang dilakukannya? Ponsel Abel juga sama, tak bisa dihubungi, meskipun penyebabnya jauh lebih bisa diterima karena saat ini adalah jadwal pertandingannya.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now