Bab 42

7.5K 663 102
                                    

Egalita

"Selamat ulang tahun Ega!"

Valdy membuka tangannya lebar, lalu merangkulku erat. Tubuhku diputarnya sampai dua kali hingga kakiku tergantung tak menjejak tanah, kepalaku pusing.

Suasana ingar-bingar kafe yang disewa atas dana sponsor dari Om Henri dan ibuku terasa cukup meriah. Live band memainkan lagu-lagu anak muda, ruangannya penuh sesak oleh teman-teman sekolahku yang ternyata diam-diam diundang oleh Dina, Abel dan Valdy. Lenganku mengalung erat di bahu Valdy sampai sahabatku itu terkekeh dan menurunkanku lagi. Ketika aku menoleh, Dina memandangi rekan debatku dengan tatapan rindu, sementara di sebelahnya Abel sedikit cemberut. Suasana hati adik laki-lakiku itu memang sulit untuk diprediksi akhir-akhir ini. Siapa yang tahu apa yang dipikirkannya kini.

"Kalian ini ya, udah aku bilang ngga usah dirayain. Pake ginian segala," ujarku sambil mengamati sekeliling ruangan mendapati teman-teman sekelasku, beberapa orang dari regu ekstrakurikuler yang sama, teman lama di SMP, berkumpul sambil memanfaatkan waktu reunian dengan kenalan mereka masing-masing.

"Mana nih, birthday girl," panggil Galih. Di belakangnya berdiri Yanis dan Mutia, satu persatu memeluk dan menyalamiku.

"Kak... Makasih kalian udah datang," ujarku tersenyum pada ketiganya. Mataku bergerak ke belakang, ketika tidak mendapati yang kucari, buru-buru kupulas ulang senyumanku, kembali memperhatikan orang-orang yang berjoget di lantai dansa.

"Konsepnya apa nih?" tanya Galih.

"Nggak ada konsep kak," jawab Dina. "Masih untung Ega nggak ngambek, mau diajak ke sini. Kalau dikasi emcee suruh dia potong tumpeng bisa pingsan kali."

"Boleh langsung makan dong?" tanya Galih, melirik cocktail udang di tengah-tengah meja.

"Astaga," ujar Mutia menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya, mengekor langkah kaki Galih dengan matanya. "Padahal di hotel kemarin kalian udah ada makan enak di perjamuan kan?"

"Itu kan kemarin," jawab Galih.

"Perjamuan apa kak?" tanya Dina.

"Pertemuan sama investor," jawab Yanis.

Tatapan mataku terarah pada Yanis, menunggunya melanjutkan, namun justru Valdy yang berbicara. "Oh, jadi Kak Theo ini..."

"Iya katanya mau naik kereta pulang, paling bentar lagi nyampe Jakarta," jelas Yanis.

"Kak Theo tuh beneran takut naik pesawat ya?" ulang Valdy.

"Bukan takut lagi. Phobia kak," jelas Dina sambil tersenyum manis. Ia berjalan maju, berdiri di tengah-tengah, menempatkan dirinya di antara tubuhku dan Valdy.

Mundur selangkah, aku menoleh ke arah Abel, lalu Mutia dan Yanis. Aku memaksakan bibirku untuk tersenyum lalu bertepuk tangan sekali. "Nah, rekan-rekan semua, mau makan dulu apa joged?" tanyaku pada mereka.

***

Kami pulang lewat tengah malam, kepalaku sedikit pening karena minum beberapa gelas cocktail yang disebut Galih, Valdy dan Yanis sebagai inisiasi karena sudah memasuki usia dewasa. Langkahku sedikit terhuyung ketika masuk ke dalam kamar, dengan kesadaran yang tersisa aku mengganti baju, menghapus make-up lalu berjalan keluar menuju kamar mandi.

Selesai muntah, membasuh muka, menyikat gigi dan buang air kecil, aku berjalan kembali ke kamar. Langkahku terhenti di muka pintu kamar yang sejak hampir dua minggu belakangan selalu tertutup rapat karena pemiliknya tidak ada di rumah. Ini hari ulang tahunku dan kakak tidak pernah melewatkannya sekalipun sebelum ini. Kami selalu merayakannya bersama, bahkan ketika ia sedang sibuk, kakak berusaha pulang secepat-cepatnya untuk bisa ada di rumah. Malam ini kakak tidak ada di rumah, meskipun seharusnya keretanya sudah sampai ke Jakarta berjam-jam lalu kalau dia mau.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now