Bab 28

11.1K 1K 208
                                    

Egalita

Minggu pertandingan debat itu akhirnya tiba, sebagai pembicara kedua aku berangkat mewakili sekolah kami. Lombanya sendiri berlangsung selama tiga hari dan masing-masing sesi terdiri dari tiga babak. Babak pertama dan kedua kami menyampaikan argumentasi berdasarkan topik yang sudah ditentukan sebelumnya, sementara di babak ketiga kami diberikan topik acak yang harus disiapkan pada saat perlombaan berlangsung dengan waktu persiapan terbatas. Karena itu di akhir hari tim sekolahku selalu berlatih hingga larut malam sebagai gladi resik untuk sesi berikutnya.

Kami bertiga (aku, Valdy dan seorang senior) bersama seorang guru pembimbing menginap di sebuah hotel di Surabaya. Meskipun kamar yang disewa jumlahnya ada dua, pada kenyataannya setiap malam kami bertiga minus guru pembimbing berkumpul di salah satu kamar, berdebat sampai larut malam, berlatih keras.

Melihat daftar lawan, aku mendapati nama familiar tertera di sana: Nichole Manar. Rupanya adik perempuanku itu juga ikut bertanding. Ayah dan keluarganya yang sekarang tinggal di Tangerang, karena itu Nichole mewakili SMAnya sendiri yang ada di kota itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Valdy ketika melihat nama Nichole.

"Nggak apa," jawabku. Dan memang aku berkata jujur. Setelah berlaku tidak etis di pertandingan terakhir kami demi menuruti permintaan ayah, aku selalu didera oleh rasa bersalah karena telah mengecewakan teman-teman satu tim. Demi apa aku melakukan itu semua? Tentu agar senyum ayah bisa tertuju padaku, membuatnya membagi sedikit saja perhatian dan kasih sayangnya untukku.

Namun ketika atas saran Theo akhirnya aku masuk kembali ke regu debat di awal semester ini, aku telah menyiapkan diri jika suatu saat bertemu dengan Nichole lagi. Situasinya kini bakal berbeda, sebab aku akan memberikan semua yang aku punya untuk bisa menjadi pemenang.

"Jangan khawatir. Tidak akan sama kayak dulu lagi," ujarku pada Valdy, menenangkan. "Kali ini aku akan berusaha sebaik-baiknya."

Kalaupun aku tidak melakukan ini untuk diriku sendiri, maka Valdy dan seniorku yang telah berlatih keras, belajar mati-matian untuk pertandingan kali ini jelas pantas untuk dihargai. Sahabatku itu hanya mengangguk, tersenyum lega.

Pagi itu, sekolah kami sama-sama masuk ke semi final. Nichole tersenyum canggung ketika melihatku. "Hey Ga," sapanya.

"Hei, pakabar?" tanyaku tak kalah canggungnya.

"Nggak nyangka kamu ikut debat lagi. Papa bilang, katanya kamu mau berhenti," katanya.

Aku mengedikkan bahu mendengar Nichole menyebut ayah kami dalam penjelasannya. Terakhir kali aku bertemu dengan ayahku tentu pada saat kami berfoto bersama keluarga Nichole selepas wisuda sekitar lima bulan lalu. Mendengarnya menyebut soal papa, tanpa bisa dicegah perasaan rinduku muncul lagi. Betapa senangnya kalau aku bisa bertemu dengan ayah kapan saja aku mau seperti Nichole.

"Oh ya? Sepertinya ayah keliru."

Nichole tersenyum. "Kalau begitu, semoga beruntung ya? Aku nggak akan ngalah loh."

Senyuman Nichole tidak bertahan lama hari itu, karena tim sekolahku menghancurkan tim sekolahnya dengan perbedaan skor yang cukup jauh. Pengalaman dan jam terbang sekolah kami, juga kemampuanku dan Valdy yang digabung menjadi satu menjadikan kami lawan yang tak terkalahkan. Selisih skor-skor kami sebelum ini selalu lebih tinggi dari 20 poin. Jika begini terus, bukan tidak mungkin suatu saat kami akan menjadi juara nasional dan bahkan dikirim ke festival debat anak SMA internasional ke luar negeri.

Kegirangan, kami bertiga saling memeluk. Dari sudut mataku, kulihat Nichole berdiri di dekat pintu keluar, menangis pada seseorang di telepon, entah mengadu pada siapa. Jawabannya baru kudapat ketika aku berkemas hendak pulang ke hotel dan nama ayah tertera di layar ponselku.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now