Bab 14

13.1K 1K 45
                                    

Egalita

Hal terakhir yang kuingat sebelum kami semua tertidur pulas di ruang tengah di depan televisi adalah suara tawa Dina ketika mendengar cerita Galih tentang kenakalan Theo sewaktu mereka masih SMA, yang menyebabkan Theo sempat dipanggil oleh Kepala Sekolah. Kalau melihat reaksi Dina dan Abel, cerita ini belum pernah mereka dengar sebelumnya. 'Theodore yang sempurna itu rupanya bisa usil juga', begitu pikirku dalam hati sebelum akhirnya tenggelam, hanyut ke alam mimpi. Setelah beberapa kali main game board, dilanjutkan video game playstation, makan nasi kuning nambah dua kali sampai kekenyangan akhirnya aku lelah dan mengantuk.

"Anak perawan tidur pakai celana pendek di dekat cowok-cowok..."

Hah? Siapa orang yang bicara itu? Suaranya seperti kenal.

Aku terjaga ketika kurasakan tubuhku seperti diangkat dari atas sofa, ringan dan seolah terbang. Hangat di pipiku terasa nyaman dan wanginya familiar.

Ketika aku membuka mata sedikit, kulihat kerah kemeja Theo, lehernya yang kini terlihat jauh lebih 'lelaki'. Dari posisiku yang kini bersandar di dadanya, aku melihat dagu dan rahang Theo yang tegas. Apa satu minggu saja cukup untuk bisa membuat orang terasa begitu nyaman namun sekaligus berbeda?

Tunggu dulu. Apa aku mimpi? Theo kan di Bandung?

Ke mana Theo kini membawaku?

Jawabannya kudapatkan beberapa detik kemudian yang terasa seperti sejam. Ke atas tempat tidurku yang nyaman, Theo meletakkan tubuhku hati-hati, menarik selimutnya ke atas hingga menutupi dadaku. Aku terlalu mengantuk untuk mengerti apa yang kini tengah dilakukan Theo, berdiri diam begitu saja di samping tempat tidurku, tidak bergerak.

Mataku terasa berat, aku ingin bangun dan menyapanya, namun di sisi lain rasanya ingin kembali saja ke ketiadaan yang menenangkan itu.

Sampai akhirnya Theo berbalik, serasa mendapatkan energi aku meraih telapak tangannya. Gerakan tubuhnya terhenti begitu saja, membeku selama beberapa saat sebelum perlahan Theo berbalik. Kali ini mataku telah terbuka separuh, melihatnya berjongkok di sisi tempat tidur. Wajah Theo terlihat letih. Mataku terpejam lagi, namun sekuat tenaga kutahan agar tidak kembali tidur.

"Kak Theo?" tanyaku memastikan kalau laki-laki di depanku ini nyata dan bukan hanya bagian dari proyeksi alam mimpiku.

"Kebangun? Bobok lagi aja," katanya lembut.

"Kak Theo kok udah pulang?"

Ketika tidak mendengar jawaban apa-apa lagi, aku memaksa membuka mataku lagi, mendapatinya menatapku aneh.

"Hadiahnya Ega mana kak?" tanyaku, teringat pada kado Dina dan Abel, satu set game board baru untuk menambah koleksiku. Sementara Kak Yanis dan Galih membelikan aku satu set alat tulis berwarna pink yang membuatku berpikir kalau sepertinya mereka tidak mengerti anak remaja. Aku berulang tahun ke-15 bukannya ke-10 tahun.

Karena itu, melihat Theo pulang ke rumah di hari peringatan kelahiranku membuatku lebih berani, ingin menyatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku juga ingin diberi hadiah oleh Theo.

Theo masih tidak mengatakan apapun dan hanya berjongkok di sisi tempat tidurku, mengelus rambutku, membuat mataku kian berat.

"Happy birthday Ega," kata Theo.

Aku merasakan sesuatu menyentuh keningku, namun mungkin hanya mimpi. Setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Pagi-pagi Dina sudah masuk ke dalam kamarku dan berjingkrak senang, memintaku segera bangun karena Theo sudah pulang dan kini ia sedang sibuk di dapur memasak sarapan untuk kami semua. Seharusnya hari Minggu ini adalah giliranku untuk melakukan berbagai tugas rumah tangga, seperti menyiapkan sarapan (kalau Theo ada di rumah, biasanya Mbok Mini diberi libur untuk pulang ke rumahnya), menyapu dan mengepel lantai, mengerjakan cucian dan mengatur pengirimannya ke laundry dekat rumah untuk disetrika.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now