Bab 12

14.3K 1.2K 77
                                    

Theo

Egalita?

Apa mataku memberikan sinyal optik yang keliru?

Gadis di depanku itu terlihat seperti Ega tapi juga terlihat lain dari Ega yang biasanya. Kaca matanya lenyap, kini digantikan oleh lensa mata bening (minus dan silinder gadis itu cukup parah dan ia tidak mungkin bisa berfungsi dengan bebas seperti ini tanpa kacamata). Ada yang berbeda dari wajahnya? Alis matanya? Bingkai matanya itu masih tebal seperti biasa namun terlihat lebih rapi, membentuk busur lengkung yang membuatnya terlihat lebih dewasa.

Lebih dewasa dan cantik.

Bibirnya dipulas lipstik warna merah jambu, pipinya juga merona dihiasi kosmetik yang dipoles ahli. Baru aku tersadar setelah melihat Egalita tersenyum meminta maaf pada kami semua karena datang terlambat kalau kawat giginya kini telah dilepas, meninggalkan deretan gigi mungil rapi.

Rambutnya disanggul Jawa yang membuat wajahnya terlihat anggun dan feminin. Sepertinya sebulan kami tidak bertemu telah membawa perubahan fisik yang begitu besar di diri Egalita, seperti tubuhnya yang terlihat lebih berisi dibalut oleh kebaya pas badan yang meskipun sopan namun tetap terlihat seksi. Belum pernah aku melihat wanita yang berpakaian tradisional seperti ini justru menambah daya tariknya hingga berkali-kali lipat.

Ya Tuhan, kalau neraka itu ada pasti aku akan ada di antrian terdepan karena memikirkan hal seperti ini soal adikku sendiri.

Dia bukan adikmu.

Mataku menuruni wajah, dagu, leher hingga dada Egalita lalu merambat naik dan mendapati adik tiriku itu kini menatapku aneh. Senyumnya yang tak mawas diri, juga kedekatan fisik kami membuatku ingin lari menjauh. Aroma kayu manis dan vanilla yang familiar itu tercium lagi dan kali ini hampir-hampir kepalaku dibuat mabuk karenanya.

Hanya adik tiri... yang penting bukan adik kandung kan? Ya kan?

Bangsat kamu Theo, aku merutuki diriku sendiri. Ya, tidak ada lagi panggilan lain yang lebih sesuai ketimbang 'bangsat' untuk seseorang yang memiliki pikiran demikian busuk pada gadis di bawah umur yang seharusnya aku lindungi karena ia akan segera menjadi bagian resmi dari keluarga kami.

Empat belas tahun? Sebentar lagi ulang tahun ke-15. Hanya tinggal 2 tahun lagi masuk akil balig dan kalau kamu mau...

Kalau aku mau? Mau apa?

Benar-benar bangsat.

Aku mengernyitkan dahi, mengalihkan tatapan mataku dari dadanya, naik ke leher, dagu, bibir, lalu mata kami bertemu. Malu karena tertangkap basah mengamatinya, bibirku membentuk garis lurus yang masam lalu melihat ke arah fotografer yang berdiri di depan dan memberikan aba-aba.

Namun di balik semua ini, aku menyadari satu hal pasti. Sakit kepalaku yang mendera sejak pagi, sejak kemarin, sejak sebulan lalu itu kini menghilang, lenyap tak berbekas. Rasa sakit tajam yang menusuk-nusuk itu digantikan oleh perasaan tak bernama lain yang perlahan merayapi tubuhku dan membuat jantungku serasa membengkak, memenuhi rongga dadaku.

Mencari ketenangan, tanganku meraih tangan Egalita, menggamitnya. Ega mendongak lagi, tersenyum padaku, membiarkan tangan kami menyatu.

Untuk sesaat, duniaku terasa lengkap.

***

Konsentrasiku tertuju pada gadis berkebaya salem yang duduk di seberang. Siapa dia? Siapa gadis itu dan apa yang dilakukannya pada Egalita adik tiriku? Seolah-olah hanya dalam semalam, ia bertransformasi menjadi sosok yang berbeda. Namun tetap familier, tetap Ega... Hanya saja kini ia lebih... lebih...

Apanya yang berbeda? Oke, katakan saja kacamatanya kini sudah diganti oleh lensa kontak, tapi bukan berarti aku belum pernah melihat Ega melepas kacamatanya. Beberapa kali aku melihat gadis itu membersihkan benda itu dan mendapatinya keluar dari kamar mandi dengan wajah polos.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum