Bab 13

14.1K 1.1K 87
                                    

Egalita

Tidak ada alasan mengapa aku harus menganggap bakal ada yang berbeda di hari ulang tahunku tahun ini. Sekarang mungkin aku memang telah resmi mempunyai sepasang adik kembar, kakak lelaki, juga ayah baru. Tapi sejak dulu aku selalu belajar dari realita bahwa memiliki ekspektasi itu adalah sumber ketidak-bahagiaan.

Seperti misalnya harapan yang tak kusadari muncul ketika aku menunjukkan laporan hasil belajar pada ayah kandungku... ingin agar dia mengelus kepalaku dan berkata bahwa aku adalah putri kebanggaannya. Harapan bahwa ayah akan datang di salah satu kompetisi debatku untuk memberi dukungan. Harapan ketika akhirnya ayah datang menonton debat Bahasa Inggris di tingkat propinsi, menyaksikan aku serta putri kandungnya yang satu lagi bertanding di tim yang berlawanan, setidaknya menunjukkan bahwa ia menyayangi dan mendukung kami berdua dan bukannya memintaku untuk mengalah. "Jangan sampai bikin adikmu nangis karena sedih," katanya waktu itu ketika kami duduk di bangku saat rehat debat.

Sampai sekarang, Valdy, teman dekat sekaligus rekan satu timku masih bertanya-tanya mengapa di ronde terakhir waktu itu, aku justru seperti menyabotase regu kami dengan jawaban-jawaban yang terdengar kurang logis dan argumentasi yang kurang kuat. Tim kami yang sudah di atas angin dikalahkan di pertandingan di tingkat propinsi itu dan tim putri kandung ayahku yang satunya lagi itu akhirnya melenggang ke liga nasional.

Tidak ada pelukan atau ucapan penghiburan dari ayah. Ia justru terlihat bahagia merayakannya dengan putri dan istri keduanya yang kini menjadi istri sah Robby Manar. Berbesar hati, aku mencoba menghampiri mereka dan mengucapkan selamat.

Kalau ada yang masih kusesali hingga sekarang bukanlah keputusanku untuk mengalah pada adik perempuanku, tapi karena ulahku, kerja keras timku selama berbulan-bulan persiapan kami menjadi sia-sia. Valdy dan dua rekan tim debatku yang lain terlihat bengong, kecewa dengan hasilnya, terlalu sopan dan mungkin tidak enak padaku yang selalu menjadi pembicara pertama yang jelas-jelas menjadi penyebab kekalahan kami.

Aku bukan hanya melakukan kecurangan, tapi juga menyeret teman-temanku yang tidak tahu apa-apa hingga menanggung akibatnya.

Valdy memang tidak mengatakan apapun, namun aku tahu dia tahu. Hanya saja Valdy mungkin tidak menyadari kalau ini pertama kalinya ayah minta sesuatu padaku. Haus kasih sayangnya, aku tidak kuasa menolak.

Harus berapa kali aku mengalami kekecewaan demi kekecewaan hingga akhirnya aku bisa mengerti bahwa tidak semua anak di dunia ini ditakdirkan untuk dicintai oleh orang tua mereka.

Lepas, Ega... Jangan punya harapan, ekspektasi apapun pada orang lain. Satu-satunya yang bisa kupegang dan andalkan hanyalah diriku sendiri. Ini adalah motto hidupku sampai akhirnya dua anak kembar itu menyelinap masuk ke dalam hidupku dan mengambil hatiku dengan kasih sayang yang tidak ada habis-habisnya.

Lagi dan lagi, Abel dan Dina membuktikan padaku bahwa mereka bisa diandalkan. Padahal kalau dilihat-lihat, masa kecil dan remaja mereka kini bukannya yang jauh lebih harmonis atau lebih bahagia dariku. Lalu apa yang menyebabkan mereka jadi pribadi yang begitu mudah mempercayai dan punya kebesaran hati seperti ini?

Jawabannya gampang. Mereka punya Theo, sedang aku tidak punya sosok seperti itu di dalam hidupku. Abel dan Dina melihat ke arah Theo untuk meminta persetujuannya setiap waktu, memiliki Theo yang selalu menunjukkan jalannya pada mereka. Betapa beruntungnya aku kini karena memiliki mereka bertiga dalam hidupku.

Ulang tahunku biasanya dirayakan bersama Valdy karena ibu tidak pernah ada di rumah. Jika kebetulan ingat, ia akan menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu agar aku bisa pergi bersama Valdy ke game arcade dan menraktirnya makan. Namun tahun ini Valdy tidak bisa merayakannya bersama karena orang tuanya mengajak Valdy dan keluarga besar mereka liburan ke Singapura di akhir pekan yang sama.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Where stories live. Discover now