Bab 32

12.4K 1K 115
                                    

Egalita

Mungkin harusnya aku menambahkan "Pengecut" sebagai nama tengahku. Bukan hanya menolak membalas pesan Theo tadi malam, aku buru-buru mematikan ponsel dan memaksa diriku untuk bersikap seolah tidak ada masalah apapun, terus memejamkan mata hingga jatuh tertidur. Mungkin karena alam bawah sadarku sedang tidak tenang, tidurku pun jadi tidak nyenyak. Berkali-kali aku terjaga, namun aku selalu memaksakan diri untuk kembali tidur lagi. Bahkan untuk sekedar bangun minum air atau buang air kecil pun aku tidak berani. Takut berpapasan dengan Theo.

Pagi harinya aku bangun karena mendengar kokok ayam hias peliharaan Om Henri di belakang rumah, juga kicau burung dari jendela. Suasananya terasa tenang dan damai, namun segera setelah mataku terbuka pikiranku langsung melayang pada kejadian semalam. Rasa tidak tenang itu kembali datang.

Perlahan aku merogoh ke bawah bantal lalu menyalakan ponselku yang mati sepanjang malam.

Perasaan lega seketika menyelimuti tubuhku, ketika kulihat tidak ada lagi pesan masuk maupun panggilan tak terjawab dari Theo.

Kamu belum tidur?

Pertanyaan itu yang menggantung di akhir percakapan kami, masih belum kubalas. Selain itu, hanya ada beberapa pesan baru yang dikirimkan oleh ibuku berada di urutan paling atas, menunggu untuk dibuka.

Setelah membacanya pesan dari ibu, keputusanku kian bulat.

Selang beberapa lama aku masih menimbang apakah situasi sudah aman bagiku untuk keluar kamar. Semalaman tidak minum, tenggorokanku terasa kering, sementara samar-samar aku merasakan keinginan untuk buang air kecil.

Duh... dilema.

Bangkit dari tempat tidur, aku memutuskan melakukan kegiatan yang seharusnya kulakukan sejak semalam: membersihkan wajahku dari sisa bedak dan debu. Setengah memulas susu pembersih ke wajah, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Hatiku mencelos, membayangkan baru sepagi ini saja harus berhadapan lagi dengan Theo.

"Ga, bangun udah siang. Sarapan dulu," suara Dina terdengar memanggilku dari luar.

Buru-buru aku membuka kunci pintunya, membukakan pintu untuk Dina.

"Tumben dikunci," selorohnya, langsung menerobos masuk ke dalam kamar dan duduk di atas tempat tidurku.

"Semalam mimpi buruk," jawabku sambil lalu, meneruskan kegiatanku membersihkan wajah.

"Ga," panggil Dina lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih serius, membuatku berhenti membersihkan wajah dan menatap wajahnya dari cermin.

"Apa?"

"Aku cuma mau bilang... makasih ya."

"Makasih apa?"

"Kemarin... kamu malem-malem keluar sama Kak Theo buat beli obatnya mama yang mau abis yah? Kamu selalu inget apa-apa saja yang dibutuhkan mama..."

'Meskipun kamu bukan anak kandung mama'... Kalimat itu tersirat jelas dari pernyataan Dina, membuatku lagi-lagi ingat pada kata-kata Theo yang mengingatkanku bahwa berusaha sekeras apapun, aku ini tetap bukan adiknya.

"Oh," jawabku sambil tersenyum tertahan melirik ke arah adikku itu yang kini duduk di atas tempat tidurku sambil tertunduk malu. "Kebetulan aja kemaren Ega liat udah mau habis."

"Ya, tapi kamu selalu yang pertama tahu kalau kita butuh apa-apa, yang mikirin kebaikan ama kebutuhan mama tiap mama pulang ke rumah. Aku sama Abel belum tentu bisa," gumamnya.

Kepulangan Tante Firda selalu membuat suasana di rumah menjadi lebih murung. Dina dan Abel serasa diingatkan lagi oleh kenyataan bahwa ibu mereka sakit sehingga tidak bisa merawat dan memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya. Apalagi ketika kondisi tante sedang menurun seperti sekarang, bahkan raut mukanya tidak akan menunjukkan sedikitpun tanda kalau Tante Firda menyadari keberadaan kedua anaknya. Tidak peduli berapa lamapun Abel memijat kakinya atau Dina memeluk tubuhnya, wajah Tante Firda terlihat datar dan kosong. Kadang jika kondisinya sedang relaps, tante akan menangis meraung-raung seperti anak kecil atau marah dan mengamuk pada orang di sekelilingnya.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Место, где живут истории. Откройте их для себя