Bab 35

12.8K 1K 295
                                    

WARNING: Manipulatif, obsesif, kompulsif, posesif, dark, JANGAN DITIRU! Kalau ada orang mengintimidasi kalian mirip kayak Theo mengintimidasi Ega, laporkan ke orang dewasa di dekat kalian. 

-------

Egalita

Suara ketukan di pintu mula-mula terdengar pelan, lalu semakin kencang.

"—ga... Ega," panggil suara familiar Theo. "Buka pintunya."

Sesaat aku bangkit duduk mengantuk, mengerjabkan mata karena matahari sudah lumayan tinggi, membuat kamarku terang benderang. Sepertinya aku kebablasan tidur sampai siang.

"Buka selotnya, Ga," kata Theo lagi.

"Nggak mau," jawabku malas. "Masih ngantuk." Dan sejujurnya aku memang masih mengantuk karena harus bangun pagi buta demi Dina. Selain itu, meskipun ada Mbok Mini dan suaminya di rumah kami, siapa yang tahu apa yang akan Theo lakukan nanti ketika rumah kami nyaris kosong seperti ini. Sesaat aku merasa khawatir membayangkannya, namun untuk saat ini tidur sedikit lebih lama akan sangat membantu. Nanti bisa kupikirkan lagi kalau otakku sudah bisa bekerja lebih baik.

Kepalaku menelusup di balik bantal, berusaha memblokir suara-suara dan cahaya dari luar.

"Ega," bujuk Theo. "Kakak janji nggak akan marah sama kamu. Tapi pintunya dibuka sekarang ya..."

Dalam hati aku hanya bisa tertawa mendengar rayuan Theo untuk mengizinkannya masuk ke kamar—memangnya apa sih yang kulakukan sampai membuatnya marah? Wah, terimakasih deh, tapi sepertinya tawaran 'murah hati' Theo harus aku lewatkan. Karena itu aku diam saja, mengetatkan bantal hingga menutupi telingaku rapat-rapat hingga suaranya tak lagi terdengar. Setelah beberapa lama, tidak ada lagi suara panggilan Theo dari luar. Merasa aman, aku melonggarkan bantal dan berusaha tidur lagi.

Samar-samar aku mendengar suara gemerisik kecil seperti kayu yang digerus dari arah jendela. Mula-mula aku tidak terlalu peduli, mungkin kucing tetangga nyelonong masuk lagi dan menabrak sesuatu, hingga aku merasakan kehadiran seseorang di dalam kamarku. Buru-buru aku berbalik, mendapati setengah kaki Theo telah masuk ke dalam kamarku melompati jendela. Aku melihat linggis di tangannya, juga jendela kamarku yang telah tercongkel paksa

"Theo!" Aku menatapnya ngeri. "Kamu ngapain, ya ampun!" jeritku kaget.

Theo berusaha menyelinap di celah sempit jendela itu. Bahunya yang lebar harus bergerak menyamping agar muat, hingga akhirnya ia berdiri di hadapanku yang menatapnya seperti orang bodoh. Wajahnya datar, hanya napasnya saja yang sedikit tak beraturan. Canggung, ia meletakkan linggisnya ke lantai sambil terus mengawasiku.

"Theo jendelanya kamu apain?" seruku gusar, beringsut bangkit menuju ke arah jendela. Rasa kantukku kini lenyap tak berbekas, jendela kamarku telah dibuka paksa dari luar dan kini tidak bisa dikunci lagi.

"Bukankah tadi sudah kuminta baik-baik buka selotnya?" tanya Theo tenang, berjalan ke tengah kamar lalu duduk di atas kursi meja belajarku. "Duduk," perintahnya kalem.

Merasa terjebak, aku membuka jendela lagi, berusaha melompat keluar. Kudengar Theo mengumpat sebelum kurasakan kausku ditariknya ke belakang hingga tubuhku terjerembab, punggungku menabrak dada bidang milik Theo.

"Ow," desisku—lebih karena kaget, ketimbang sakit. Theo menungguku menyeimbangkan badan lalu menarikku duduk ke atas tempat tidur. Napasnya kini sedikit lebih pendek dan cepat. Kakak tiriku itu tidak mau lengah lagi, kali ini memilih berdiri bersandar ke meja belajar. Kedua tangannya memegang pinggiran meja, di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Matanya menyipit, raut wajahnya tetap tenang.

"T-Theo... ngapain sampai jebol jendela kamar Ega segala? Ega takut..." ujarku akhirnya ketika beberapa menit berlalu dan Theodore tidak melakukan apapun kecuali mengamatiku, mempelajariku dalam diam.

[Tamat] False Idol, A Stepbrother Dark Romance (Season 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang